Sabtu, 10 Desember 2011

Membuka Pintu Ijtihad Fazlur Rahman

-->
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di Barat laut Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kereligiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia melaksanakan ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa pernah meninggalkannya sekalipun.[1] Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Al-Qur’an.
Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi. Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga yang menganut mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektual dan keyakinan-keyakinannya.[2] Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain menempuh pendidikan formal, Fazlur Rahman juga mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisional dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya sendiri, Maulana Syahab al-Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, Teologi atau Kalam, Hadis dan Tafsir.[3] Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil kosentrasi studi bahasa Arab dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, dia berhasil menyelesaikan studi S2 nya dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi di Oxford University. Di bawah bimbingan Profesor Simon Van den Berg dan H.A.R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
B.     KARIR DAN KARYA
Secara singkat, perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat dipetakan ke dalam tiga periode: (I) periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).[4]
Setidaknya ada tiga karya besar yang disusun Fazlur Rahman pada periode awal: Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang pertama, Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959), merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958), mengupas perbedaan doktrin ke-Nabi-an antara yang dianut oleh para filsuf dengan yang dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak akar pemikiran filsafat Islam, Fazlur Rahman mengambil sampel dua filsuf ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Dia mengulas pandangan kedua filsuf tersebut tentang wahyu ke-Nabi-an pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imajinatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syari’ah. Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Fazlur Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Dari pelacakannya ini, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa ada kesepakatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filsuf terhadap fenomena ke-Nabi-an. Hasil dari penelusurannya ini mengantarkan Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filsuf Muslim dan ortodoksi.[5]
Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic Methodology in History (1965). Dalam buku ini Fazlur Rahman memperlihatkan: (I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam: Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii) peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Fazlur Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang menyuguhkan rekonstruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas abad.
Pada periode Chicago, Fazlur Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity: Transformation of an intellectual tradition (1982). Kalau karya-karya Fazlur Rahman pada periode pertama bersifat kajian historis, dan pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka karya-karya pada periode ketiga lebih bersifat normatif murni. Pada periode awal dan kedua, Fazlur Rahman belum secara terang-terangan menyatakan diri terlibat langsung dalam arus pembaharuan pemikiran Islam, maka pada periode ketiga ini dia mendeklarasikan dirinya sebagai juru bicara neo-modernis.[6]
C.     PEMIKIRAN
Worldview: Tuhan, Manusia, dan Alam
Fazlur Rahman melihat pentingnya rumusan pandangan dunia (worldview) yang menyeluruh dan utuh sebagai landasan filosofis bagi metodologinya.[7] Konsep andangan dunia Fazlur Rahman, khususnya berkaitan pada tiga persoalan: Tuhan, manusia, dan alam, bertitik tolak dari al-Qur`an.[8] Konsep Tuhan seperti dinyatakan di dalam al-Qur`an bagi Fazlur Rahman pada dasarnya semata-mata adalah fungsional. Yakni Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.[9]
Berangkat dari landasan di atas, kita dapat mengambil gagasan Fazlur Rahman tentang Tuhan yang kemudian mewarnai berbagai pandangannya yang lain. Dengan kata lain, pandangan Fazlur Rahman tentang Tuhan selanjutnya dapat berimplikasi pada bagaimana Fazlur Rahman melihat segala fenomena di alam ini. Dalam pandangannya, Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dan alam raya ini. Tuhan telah menjadikan alam dengan seperangkat aturannya yang dia sebut dengan istilah qadar. Qadar baginya bukanlah seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimum) sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan manusia,[10] melainkan segala ketentuan yang ada pada alam ini, terutama benda-benda fisik. Qadar itulah yang memberikan karakteristik dan sifat khusus padanya. Karakteristik dan sifat itulah yang merupakan amar Tuhan terhadap alam. Karenanya segala yang ada di alam adalah Islam, karena ia tunduk dan patuh terhadap amar Tuhan. Amar Tuhan itulah yang kemudian menjadi amanah bagi alam ini. Karenanya, pula, al-Qur`an mengatakan bahwa alam bertasbih kepada Tuhan.[11]
Tuhan menciptakan alam semesta ini bukanlah tanpa tujuan. Ia hendak merealisasikan
tujuan-Nya itu lewat ciptaan-Nya dan misi-Nya. Tujaunnya adalah kebaikan. Pada titik ini, hemat penulis, Fazlur Rahman percaya, setidaknya menerima, yang disebut dalam terminologi filsafat agama sebagai argumen teleologis. Argumen ini menyatakan bahwa alam memiliki tujuan. Alam mengarah kepada suatu tujuan yang lebih tinggi yakni kebaikan. Sudah merupakan anggapan umum bahwa Tuhan dalam Islam adalah transenden secara mutlak, hal ini terbukti dengan adanya penekanan tegas yang diberikan Islam terhadap pengesaan Tuhan, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan lain-lain.[12] Akan tetapi, lanjut Fazlur Rahman, gambaran semacam ini tidak muncul dari al-Qur`an, melainkan dari perkembangan teologi Islam belakangan.[13] Tentu saja imanensi Tuhan ini sedikit pun tidak berarti perbuatan-perbuatn yang dilakukan oleh alam atau manusia secara nyata dilakukan oleh Tuhan: Tuhan bukanlah saingan atau pengganti bagi manusia atau agen-agen alam dalam menghasilkan efek-efek, dan Dia tidak pula campur tangan dalam proses kerja mereka.[14]
Hukum alam adalah bagian dari perilaku-Nya (sunnah).[15] Manusia diciptakan Tuhan dengan maksud turut merealisir tujuan-Nya yang mulia, tujuan kebaikan. Di samping manusia diberi tugas dalam rangka keseluruhan dari penciptaan-Nya, ia juga dituntut agar selalu patuh kepada Tuhan. Di sini Tuhan memberikan daya intelegensi yang tinggi kepada manusia. Dengan akal manusia membedakan yang baik dan yang buruk. Karena itu Tuhan memberikan derajat yang paling tinggi kepada manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Di antara makhluk, manusialah yang dilengkapi dengan moral. Karena itu manusia, dalam hidupnya, penuh dengan perjuangan, baik perjuangan untuk merealisasikan tujuan penciptaan Tuhan, hubungannya dengan alam, maupun pada level pribadi. Jadi hubungan Tuhan, manusia, dan alam dalam pandangan Fazlur Rahman tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan yang jelas adalah bahwa manusia diberi tugas oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta ini dengan tujuan kebaikan dan kesempurnaan dari seluruh rencana Tuhan dan keseluruhan penciptaannya. Hubungan dengan Tuhan bahwa manusia merupakan bagian dari-Nya, dalam arti bahwa Tuhan telah meniupkan ruh-Nya kedalam diri manusia.[16] Namun, Tuhan tetap sebagai makrokosmos (alam besar) dan manusia adalah mikrokosmos (alam kecil). Alam kecil ini senantiasa berhubungan secara spiritual dengan alam besar, setidaknya pada level filosofis. Karena itu, manusia harus meniru Tuhan di dalam segala sikapnya, mewujudkan kebaikan-kebaikan. Tugas ini, suka atau pun tidak suka, harus dipikulnyaa. Manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini (khalifah fi al-ardh). Hubungan manusia dengan alam adalah bahwa manusia memanfaatkan alam demi terciptanya kebaikan-kebaikan itu dan dalam rangka beribadah kepada-Nya. Fazlur Rahman menyebut hal demikian sebagai ‘amr’ atau perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Jadi alam berfungsi sebagai fasilitas dalam rangka tujuan tadi. Dengan demikian dalam Islam manusia menjadi “pengelola”, bukan “eksploitator”. Berangkat dari konsepsi ini, pandangannya mengenai tauhid jelas tidak dapat dinafikan begitu saja. Bagi Fazlur Rahman Tauhid tidak hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, tapi juga berbicara tentang bagaimana manusia berperilaku dan bertindak. Manusia merupakan cermin dari Tuhan atau khalifah Tuhan di bumi, karena itu ia harus mewujudkan misi-Nya di bumi. Ketika ia melakukan interaksi dengan orang lain, maka unsur Tuhan serta nilai-nilai teologis harus dijabarkan. Pandangan ini amat berpengaruh pada pemahamannya tentang etika sosial.
Di sini Fazlur Rahman mengidealkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan, kesejahteraan, kedamaian, serta perilaku masyarakat yang dilandasi nilai-nilai moral yang tinggi, dalam hal ini nilai-nilai tauhid sebagaimana ditunjukkan al-Qur`an. Baginya, nilai-nilai universal yang menjadi pesan al-Qur`an itu hendaknya menjadi acuan dan basis etis sebuah masyarakat. Karena itu, seluruh manusia tanpa dibatasi oleh atribut tertentu: golongan, suku bangsa, ras, bahasa dan lain-lain, harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan universal itu: “keadilan”, “kebaikan”, “persamaan”, (merasa sama satu sama lain, tidak merasa lebih tinggi, lebih super dan lain sebagainya), kejujuran dan lain-lain. Makna universal di sini bagi Fazlur Rahman tidaklah demikian adanya. Baginya, makna universal dalam Islam harus disesuaikan dengan kondisi di mana konsep dan gagasan itu hendak diterapkan. Dalam hal ini tidaklah lalu berarti pengikisan nilai-nilai transenden yang terdapat di dalam sebuah kitab suci. Fazlur Rahman tampak yakin betul bahwa makna al-Qur`an tidaklah dapat diambil atau diwujudkan dengan cara yang pertama tadi. Jadi bagi Fazlur Rahman -karena pengaruh dari metodologi historisnya- semangat al-Qur`an itulah yang terpenting. Dengan sikap tauhid yang dinamis ini, maka jelas manusia akan hidup optimis, tanpa berlebihan. Sikap optimis demukian dapat melahirkan sikap rendah hati dan tidak mudah berputus asa. Karena itu, seseorang akan berada pada jalan tengah dan terhindar dari dua kutub ekstrim. Karena dua kutub ekstrim itulah yang menyebabkan manusia jatuh pada “kekufuran”.
Di dalam konsep tauhid ini, Fazlur Rahman mengidealkan terciptanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia yang lain, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis demi mewujudkan dan merealisasikan tujuan dari penciptaan ini (al-hikmah). Landasan tauhid ini menjadi dasar dan prinsip universalitas Islam yang kemudian sangat berpengaruh pada prinsip pemikiran Fazlur Rahman.
D.    METODOLOGI TAFSIR FAZLUR RAHMAN (DOUBLE MOVEMENT THEORY)
Fazlur Rahman sebenarnya telah merintis rumusannya tentang metodologi sejak dia tinggal di Pakistan (dekade 60-an). Namun rumusan metodologinya ini secara sistematis dan komprehensif baru diselesaikannya ketika dia telah menetap di Chicago. Metodologi yang ditawarkannya ini, yang dia sebut sebagai “double movement”, merupakan kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum kepada yang khusus. Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, menurut Fazlur Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam dating. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Hal yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya koheren dan tidak mengandung internal-contradiction secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum Muslim awal. Menurut Fazlur Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan. Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial mutlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli etika. Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin bahwa sesuat yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda ini, dapat difahami dengan tiga langkah metodologis utama:
(a)    Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran masa Nabi; berkaitan dengan hal ini Fazlur Rahman mengungkapkan:
“Suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan Nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.”[17]
(b)    Pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan Al-Quran;
Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Fazlur Rahman menulis:
“Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, di mana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sini sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-Muslim maupun Muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.”[18]
(c)    Pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. Mengenai butir ketiga ini, Fazlur Rahman menulis:
“Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian
sepenuhnya terhadap latar sosiologis, yakni lingkungan di mana Nabi hidup dan beraktifitas.”[19]
Untuk melihat metodologi tafsir Fazlur Rahman secara sederhana bisa dilihat dalam bagan sebagai berikut[20]:

Sosio

Respon

Nilai-nilai

Kondisi

Menggeneralisasi

Menentukan tujuan moral

Masyarakat




[1] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 79.
[2] Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm. 41.
[3] Amal, Islam dan Tantangan Modernitas,  hlm.  80.
[4] Ibid., hlm. 112
[5] Ibid., hlm. 11.
[6] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University
of Chicago Press, 1982), hlm. 135-145.
[7] Rahman, Islam, hlm. 378.
[8] Fazlur Rahman, Major Themes of Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980). Lihat juga Fazlur
Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983).
[9] Ibid.,  hlm. 91.
[10] Dalam wacana teologi Islam, polemik masalah takdir manusia tidak pernah mendapat solusi yang memadai.
Faham Jabariyyah yang memandang manusia serba deterministik di satu sisi berhadapan dengan faham
Qadariyah yang memandang manusia memilki kebebasan sekaligus bertanggung jawab atas perbuatannya
melatar belakangi lahirnya teori kasab Asy’ari sebagai jalan tengah.
[11] QS, 57:1; 59:1; 61:1; 13:14; 62:1; 64:1 dan 17:44.
[12] Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 70.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 71.
[16] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur`an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1993), hlm. 26.
[17] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1994). hlm. 6.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of interreligious Solidarity against
Oppression (Oxford: Oneworld Publication, 1997). Lihat juga Farid Esack, Al-Qur’an, Liberasi, Pluralisme,
Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), hlm.100.