A. KEBENARAN
PREPOSISI
Proposisi adalah
kalimat deklaratif yang bernilai benar (true) atau salah (false), tetapi tidak
dapat sekaligus keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari sebuah kalimat disebut
nilai kebenarannya (truth value). Contoh
berikut ini dapat mengilustrasikan kalimat mana yang merupakan proposisi dan
mana yang bukan:
Pernyataan-pernyataan berikut ini,
(a) 6 adalah bilangan genap.
(b) Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama.
(c) 2 + 2 = 4.
(d) Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah Semarang.
(e) 12 ³ 19.
(f) Kemarin hari hujan.
(g) Suhu di permukaan laut adalah 21 derajat Celcius.
(h) Pemuda itu tinggi.
(i) Kehidupan hanya ada di planet Bumi.
(a) 6 adalah bilangan genap.
(b) Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama.
(c) 2 + 2 = 4.
(d) Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah Semarang.
(e) 12 ³ 19.
(f) Kemarin hari hujan.
(g) Suhu di permukaan laut adalah 21 derajat Celcius.
(h) Pemuda itu tinggi.
(i) Kehidupan hanya ada di planet Bumi.
Pembahasan
:
semuanya merupakan proposisi. Proposisi a, b, dan c bernilai benar, tetapi proposisi d salah karena ibukota Jawa Barat seharusnya adalah Bandung dan proposisi e bernilai salah karena seharusnya 12 £ 19. Proposisi f sampai i memang tidak dapat langsung ditetapkan kebenarannya, namun satu hal yang pasti, proposisi-proposisi tersebut tidak mungkin benar dan salah sekaligus. Kita bisa menetapkan nilai proposisi tersebut benar atau salah. Misalnya, proposisi f bisa kita andaikan benar (hari kemarin memang hujan) atau salah (hari kemarin tidak hujan). Demikian pula halnya untuk proposisi g dan h. Proposisi i bisa benar atau salah, karena sampai saat ini belum ada ilmuwan yang dapat memastikan kebenarannya.
semuanya merupakan proposisi. Proposisi a, b, dan c bernilai benar, tetapi proposisi d salah karena ibukota Jawa Barat seharusnya adalah Bandung dan proposisi e bernilai salah karena seharusnya 12 £ 19. Proposisi f sampai i memang tidak dapat langsung ditetapkan kebenarannya, namun satu hal yang pasti, proposisi-proposisi tersebut tidak mungkin benar dan salah sekaligus. Kita bisa menetapkan nilai proposisi tersebut benar atau salah. Misalnya, proposisi f bisa kita andaikan benar (hari kemarin memang hujan) atau salah (hari kemarin tidak hujan). Demikian pula halnya untuk proposisi g dan h. Proposisi i bisa benar atau salah, karena sampai saat ini belum ada ilmuwan yang dapat memastikan kebenarannya.
B. KEBENARAN
KORESPONDENSI
Teori kebenaran
korespondensi (Correspondence Theory of
Truth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah
benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam
atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan
dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat
dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang
sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan
teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori
kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan
kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Kebenaran adalah persesuaian antara
pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang dipertimbangan
itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan
pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[1]
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality
(kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis.
Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu
Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika
induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam
masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas
pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang
diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi
tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di
dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus
mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan
nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga
kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus
dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai),
bila sesuai maka itu benar.
Secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan
obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[2]
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran
dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima
unsur yang perlu yaitu :
1. Pernyataan (Statemaent)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Adapun kesulitan yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama,
teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan terlalu sederhana
mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu
pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang
benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Kedua,
teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran
kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan. Ketiga,
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena
kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu
teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau
objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang
sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.
C. KEBENARAN
KOHERENSI
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran
yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan
disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Berdasarkan teori ini suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[3]
Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren
menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa
“semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah
benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang
pertama.
Teori koherensi
yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi
pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut.[4]
Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin
sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari
pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita
menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat
ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa
saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern
seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi
dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap
sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas
dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.[5]
Problem yang
didapatkan dari teori koherensi yaitu: Pertama pernyataan yang tidak koheren
(melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu
kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada
suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak
pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit
untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari
teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong
telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena
tidak konsisten dengan kepercayaan saya. Kedua, sama halnya dalam mengecek
apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu
mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
D. KEBENARAN
STRUKTURAL PARADIKMATIK
Suatu
teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut.
Banyak
sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena
atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu
ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara
apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh
Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh
anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains
adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa
mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma
merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari
perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan
cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam
penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu
pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima
dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
E. KEBENARAN
PERFORMATIF
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan
nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai
terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus
(1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang
diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam
fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,
adat yang stabil dan sebagainya. Masyarakat yang mengikuti kebenaran
performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang
inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat,
kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar
keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari
kebenaran.
F. KEBENARAN
PRAGMATIK
Teori pragmatik dicetuskan oleh
Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878
yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh
beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey
(1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.[6]
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme,
intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat
(utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan.[7]
Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis
adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis
dalam kehidupan manusia.[8]
Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran
ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.[9]
[1] Titus,
Harold H., dkk., Living Issues in
Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan
Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 237.
[2] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990), hlm. 57.
[4] A.C Awing., The Fundamental Questions of Philosophy, (London: Routledge and
Kegan Paul, 1951), hlm. 62.
[5] Titus, Harold H., dkk, Living
Issues in Philasophy, hlm. 239
[7] Harold Titus, Living
Issues in Philasop, hlm. 241.
[8] Harun Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 130.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, hlm. 59.