A. Konsep
Manusia Menurut Islam
Manusia adalah makhluk yang berhadapan
dengan diri sendiri dan juga berhadapan dengan alam kodrat.[1]
Manusia adalah makhluk badani yang harus bersikap, bertindak, bergerak dan
bekerja untuk mengolah dunianya. Pertumbuhan badan manusia merupakan prasarana
atau infrastruktur perkembangan rohani. Badan manusia merupakan cerminan
pribadi manusia itu sendiri. Jika pribadinya luhur, maka badan dalam sikap dan
gerak-geriknya akan mencerminkan keluhuran itu. Sebaliknya, jika manusia ingin
memiliki kepribadian yang luhur, maka ia harus mengatur segi-segi luar dari
hidupnya.[2]
Dalam diri manusia pada hakikatnya
terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan karena dalam proses kejadiannya kepada
manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri
manusia tersebut berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses
kehidupannya manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan
perbuatan nyata.[3]
Ayat-ayat Al-Qur’an banyak menjelaskan
tentang hakikat manusia. Firman Allah SWT
yang pertama kali diturunkan justru mengawali karakter manusia untuk
berpendidikan melalui proses membaca (lihat Q.S. Al-‘Alaq:1-5). Proses belajar
ini telah dilakukan oleh Nabi Adam ketika Allah SWT mengajarkan kepadanya nama-nama
segalanya (lihat Q.S. Al-Baqarah:31). Lalu manusia pun merespons proses belajar
tersebut dengan mengajar (lihat Q.S. Luqman:13).[4]
Ada tiga
kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia, yaitu:
1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf
alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas, atau unas.
2.
Menggunakan
kata basyar.
3.
Menggunakan
kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.[5]
Hasil penelitian yang dilakukan Musa
Asy’ari menjelaskan bahwa kata insan
dalam Al-Qur’an digunakan untuk menunjuk kata manusia dalam bentuk tunggal,
yakni sama dengan pemakaian kata ins.
Sedangkan untuk jamaknya dipakai kata al-nas,
unasi, insiyya, anasi. Sedangkan kata
basyar dipakai untuk tunggal dan
jamak. Kata insan dalam Al-Qur’an
disebut sebanyak 65 kali dalam 32 ayat, sedangkan kata ins disebut 18 kali dalam 17 ayat. Selanjutnya kata al-nas disebut 241 kali dalam 225 ayat.
Kata unasi disebut lima kali dalam
lima ayat. Kata anasi dan insiyya masing-masing disebut 1 kali
dalam 1 ayat. Adapun kata basyar
disebut 36 kali dalam 36 ayat.[6]
Kata basyar
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan
baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, berbeda dengan kulit binatang
yang lain.[7]
Kata basyar
yang disebut Al-Qur’an sebanyak 36 ayat dipakai untuk menyebut manusia dalam
proses lahiriahnya. Satu ayat diantaranya menyebutkan kata basyar dalam pengertian kulit manusia.[8]
Pengertian basyar tidak lain adalah
manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas
lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan,
minum, bersetubuh, dan akhirnya mengakhiri kegiatannya. Melalui aktivitas basyariyah-nya yaitu aktivitas
tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk
kongkret, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya cipta manusia, yang menempati
ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian, dan
kegiatan mengolah hasil pada industri logam.[9]
Kata insan
terambil dari akar kata uns yang
berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut
pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata
nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang).[10]
Informasi Al-Qur’an tentang kata insan mengacu kepada manusia sebagai makhluk
yang memiliki potensi intelektual dan kejiwaan yang pada perkembangan
selanjutnya potensi-potensi ini menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran
dan pendidikan.[11]
Dengan demikian, penggunaan kata insan dan basyar dalam
Al-Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama
menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai
subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan
dalam pengertian material seperti yang terlihat pada aktivitas fisiknya.
Jadi, manusia merupakan makhluk yang
memiliki kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya, ia
dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik, dan dengan
kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan
dukungan mental. Selanjutnya, agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan
baik dan produktif, maka perlu dibina dan dibimbing melalui pendidikan.[12]
Dalam konsep Islam, manusia dianggap
sebagai khalifah (pengganti) Allah di muka bumi yang bertindak sesuai dengan
perintah Allah. Sebagai khalifah yang mengemban tanggung jawab yang besar,
manusia dibekali dengan potensi-potensi yang istimewa yang membedakannya dari
makhluk lain. Potensi-potensi tersebut berupa fithrah yang baik, roh, kebebasan
dalam berkemauan, dan akal.[13] Kekuasaan yang
diberikan kepada manusia sebagai khalifah
bersifat
kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang
ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Allah SWT.[14]
Disamping peran manusia sebagai khalifah
Allah SWT. Di muka bumi yang memiliki kebebasan, ia juga sebagai hamba Allah (‘abdullah). Seorang hamba Allah SWT harus
taat dan patuh kepada perintah Allah SWT. Kekuasaan manusia sebagai khalifah
Allah SWT dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum
Tuhan baik yang tertulis dalam Al-Qur’an, maupun yang tersirat dalam kandungan
alam semesta (al-kaun).
Dua peran yang diemban manusia di muka
bumi sebagai khalifah dan ‘abd merupakan
keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat
dengan kreativitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
Kualitas kemanusiaan sangat bergantung pada kualitas komunikasinya dengan Allah
SWT melalui ibadah dan kualitas interaksi sosialnya dengan sesama manusia melalui
muamalah.[15]
B. Konsep
Pengetahuan Menurut Islam
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya
terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang
terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.[16]
Pengetahuan adalah segala
sesuatu yang telah diketahui. Cara mengetahui sesuatu dapat dilakukan dengan
cara mendengar, melihat, merasa, dan sebagainya yang merupakan bagian dari alat
indra manusia. Semua pengetahuan yang didasarkan secara indrawi dikategorikan
sebagai pengetahuan empirik, artinya pengetahuan yang bersumber dari
pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman menjadi bagian penting dari seluk-beluk
adanya pengetahuan yang secara filosofis menjadi bagian dari epistemologis.[17]
Setiap manusia memiliki
pengetahuan karena setiap manusia pernah mengalami sesuatu dan setiap
pengalamannya dapat dijadikan landasan dalam berpikir dan bertindak. Akan
tetapi, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda, maka dalam
menyelesaikan masalahnya bersumber pada pengalaman yang beragam sehingga
pengetahuan pun menjadi semakin banyak.[18]
Ilmu pengetahuan adalah
kebutuhan mutlak manusia. Ilmu adalah bekal yang diperlukan manusia untuk
mempertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Manusia membutuhkan ilmu
pengetahuan untuk menjangkau kehidupan duniawi dan ukhrawinya. Ilmu digapai
manusia untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran bagi ilmuwan mempunyai kegunaan
khusus, yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat
kemanusiaannya.[19]
Di dalam Al-Qur’an terdapat
ratusan ayat yang menerangkan ilmu, ajakan untuk berpikir dan melakukan
penalaran (mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan
seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal
pikirannya. Tercatat ada 80 ayat yang mengandung kata ilmu, 63 ayat yang
mengandung ajakan untuk berpikir, 45 ayat yang mangajak untuk melakukan
penalaran (mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan
seksama), 16 ayat yang menyanjung orang-orang yang suka menggunakan akalnya,
dan 24 ayat yang memberikan lampu merah terhadap kebodohan.[20]
Salah satu ayat yang
menunjukan keutamaan orang yang berilmu pengetahuan adalah firman Allah dalam Surat Al-Mujadilah
ayat 11 berikut ini:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai orang-orang beriman! apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Mujadilah:11).[21]
Sejarah islam telah mencatat
bahwa ilmuwan muslim telah mamperlihatkan kepada kita tentang pentingnya ilmu
dalam dunia kehidupan dan pendidikan. Nama-nama seperti Ar-Razi (Rhases,
856-925 M), Ali Abbas (wafat 944 M), Ibnu Sina (Avicenna, 930-1037 M), dan Ibnu
Rusyd (Avenrroes, wafat 1198 M) adalah para ilmuwan muslim yang karya-karyanya
memiliki pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan. Misalnya buku karangan Ibnu
Sina yang berjudul Al-Qanun fit-Thib
(Canon of Medicine) yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Buku
tersebut menjadi buku induk mahasiswa kedoteran pada masa itu. Buku tersebut
tak henti-hentinya dibaca, dipelajari, diterjemahkan, diterbitkan, dan
didiskusikan sampai abad ke-18 M. Ibnu Sina juga mendapat julukan Father of Doctors.[22]
Derajat kehidupan manusia
akan sangat ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tanpa ilmu,
derajatnya akan rendah. Akan tetapi, ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia
wajib dilindungi oleh keimanan karena yang manusia berilmu, tetapi tidak beriman,
maka kehidupannya akan porak poranda. Dengan demikian, ilmu dan iman adalah
kajian mendasar dari filsafat pendidikan Islam yang hakikatnya semua ilmu
digunakan untuk memperkuat keimanan dan keimanan harus ditingkatkan oleh ilmu
pengetahuan.[23]
Asy-Syaibani mengatakan
bahwa pengetahuan yang sebenarnya ialah yang
cukup keyakinan dan pasti, merendah diri di depan keagungan Allah dan luasnya
ilmu-Nya, sesuai dengan jiwa agama dan prinsip
akhlak yang mulia yang telah ditentukannya
sehingga menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam jiwa, tepat dan
obyektif, dan meneguhkan amal yang baik, pengalaman yang berjaya dan memudahkan
jalan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hal-hal
tersebut ialah syarat-syarat dan unsur-unsur
pengetahuan yang terpenting dalam islam.[24]
Dengan memperhatikan motivasi Al-Quran untuk menuntut ilmu, cara-cara mendapatkan
ilmu dalam islam, dan Al-Quran sebagai
sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan islam harus selalu menggali
ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Quran. Al-Quran tidak
ubahnya seperti suatu samudera ilmu pengetahuan, makin sanggup manusia
mengarunginya semakin banyak hasil yang diperolehnya. Di dalam pengembangan
ilmu, lembaga pendidikan islam harus menggali ilmu
pengetahuan dari sumbernya berupa ayat Quraniyah dan ayat Kauniyah. Lembaga pendidikan islam juga harus selalu menanamkan terhadap peserta
didiknya bahwa usaha untuk mempelajari, menggali dan mengaplikasikan ilmu yang
diperolehnya itu dalam rangka pengabdian kepada Allah swt sebagai Khaliq
(pencipta) ilmu pengetahuan. [25]
C. Konsep Alam
Menurut Islam
Alam berjalan sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. Alam dapat
menjadi subjek maupun objek pendidikan dan pembelajaran. Kita bisa melihat
bagaimana matahari konsisten untuk terbit dan terbenam sesuai dengan hukumnya.
Hukum Allah juga berlaku pada bumi, air, api, angin, daratan, lautan,
gunung-gunung, hutan, dan pepohonan.
Bumi dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya
sebagai tempat manusia beraktivitas adalah karunia Allah yang sangat besar dan
wajib disyukuri. Allah berfirman dalam QS. Al-Mulk ayat 15 yang berbunyi:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian
dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu
dibangkitkan.”(Q.S.Al-Mulk:15).[26]
Dalam perspektif filsafat
pendidikan Islam, alam adalah guru manusia. Kita semua wajib belajar dari sikap
alam semesta yang tunduk mutlak pada hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Alam semesta bagaikan literatur yang amat luas
dan kaya dengan informasi yang aktual. Alam mempertontonkan karyanya yang
dinamis kepada manusia yang berniat belajar seumur hidup.[27]
Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia sehingga manusia dapat
menjalankan fungsi dan kedudukannya dimuka bumi.[28] Hal tersebut ditegaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an
yang menyeru dan mengundang manusia untuk mengamati dan merenungi wajah dan
rahasia alam. Beberapa ayat yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Q.S.
Al-Jatsiyah: 13, Q.S.An-Nahl: 12, Q.S.An-Nahl: 14, Q.S.An-Nahl: 18, Q.S.Al-An’am: 97, dan Q.S.Yunus:5.[29]
Kedudukan manusia terhadap
alam adalah sebagai pemanfaat dan penjaga kelestariannya (Q.S.Al-Jumuah:10 dan
Q.S. Al-Baqarah:60), sebagai peneliti alam (Q.S.Al-Baqarah:164), dan sebagai
khalifah yang mengatur alam (Q.S.Al-An’am:165).[30]
Manusia harus memanfaatkan
akalnya untuk berpikir tentang pemberdayaan alam bagi manusia. Akal yang
dimiliki manusia merupakan kecakapan untuk menciptakan alat-alat kerja bagi
dirinya. Akal itu timbul karena penyesuaian manusia dengan dunia sekitarnya.[31]
Dari uraian di atas, maka
jelaslah bahwa manusia harus senantiasa belajar kepada alam. Manusia yang tidak
mau belajar dari konsistensi kehidupan alam, maka sifatnya akan berubah
bagaikan binatang, saling menipu, saling membunuh, dan sebagainya. Rusaknya
kehidupan alam disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak mau belajar dari
alam semesta. Misalnya, kasus penebangan hutan liar yang mengakibatkan hutan
gundul, erosi, banjir, dan sebagainya.[32]
[2] Ibid.,hal.18-19.
[4]
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat PendidIkan
Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta:Rajawali Press,2011),
hal.147-148.
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:Mizan,1996), hal.278.
[24] Omar Muhammad Al-Toumy
Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj.),
(Jakarta:Bulan Bintang,1979), hal.295.
[25]
Ramayulis dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
Para Tokohnya, (Jakarta:Kalam Mulia,2009), hal.80.
[28] Hamdani Hasan dan A.Fuad Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2001), hal.50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar