Minggu, 13 Januari 2013

Unsur Esensial FPI



A.    Konsep Manusia Menurut Islam
Manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dan juga berhadapan dengan alam kodrat.[1] Manusia adalah makhluk badani yang harus bersikap, bertindak, bergerak dan bekerja untuk mengolah dunianya. Pertumbuhan badan manusia merupakan prasarana atau infrastruktur perkembangan rohani. Badan manusia merupakan cerminan pribadi manusia itu sendiri. Jika pribadinya luhur, maka badan dalam sikap dan gerak-geriknya akan mencerminkan keluhuran itu. Sebaliknya, jika manusia ingin memiliki kepribadian yang luhur, maka ia harus mengatur segi-segi luar dari hidupnya.[2]
Dalam diri manusia pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata.[3]
Ayat-ayat Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang hakikat manusia. Firman Allah SWT yang pertama kali diturunkan justru mengawali karakter manusia untuk berpendidikan melalui proses membaca (lihat Q.S. Al-‘Alaq:1-5). Proses belajar ini telah dilakukan oleh Nabi Adam ketika Allah SWT mengajarkan kepadanya nama-nama segalanya (lihat Q.S. Al-Baqarah:31). Lalu manusia pun merespons proses belajar tersebut dengan mengajar (lihat Q.S. Luqman:13).[4]
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia, yaitu:
1.      Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas, atau unas.
2.      Menggunakan kata basyar.
3.      Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.[5]
Hasil penelitian yang dilakukan Musa Asy’ari menjelaskan bahwa kata insan dalam Al-Qur’an digunakan untuk menunjuk kata manusia dalam bentuk tunggal, yakni sama dengan pemakaian kata ins. Sedangkan untuk jamaknya dipakai kata al-nas, unasi, insiyya, anasi. Sedangkan kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 32 ayat, sedangkan kata ins disebut 18 kali dalam 17 ayat. Selanjutnya kata al-nas disebut 241 kali dalam 225 ayat. Kata unasi disebut lima kali dalam lima ayat. Kata anasi dan insiyya masing-masing disebut 1 kali dalam 1 ayat. Adapun kata basyar disebut 36 kali dalam 36 ayat.[6]
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, berbeda dengan kulit binatang yang lain.[7]
Kata basyar yang disebut Al-Qur’an sebanyak 36 ayat dipakai untuk menyebut manusia dalam proses lahiriahnya. Satu ayat diantaranya menyebutkan kata basyar dalam pengertian kulit manusia.[8] Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mengakhiri kegiatannya. Melalui aktivitas basyariyah-nya yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk kongkret, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian, dan kegiatan mengolah hasil pada industri logam.[9]
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang).[10]
Informasi Al-Qur’an tentang kata insan mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi intelektual dan kejiwaan yang pada perkembangan selanjutnya potensi-potensi ini menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan pendidikan.[11]
Dengan demikian, penggunaan kata insan dan basyar dalam Al-Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada aktivitas fisiknya.
Jadi, manusia merupakan makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik, dan dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya, agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan dibimbing melalui pendidikan.[12]
Dalam konsep Islam, manusia dianggap sebagai khalifah (pengganti) Allah di muka bumi yang bertindak sesuai dengan perintah Allah. Sebagai khalifah yang mengemban tanggung jawab yang besar, manusia dibekali dengan potensi-potensi yang istimewa yang membedakannya dari makhluk lain. Potensi-potensi tersebut berupa fithrah yang baik, roh, kebebasan dalam berkemauan, dan akal.[13] Kekuasaan yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT.[14]
Disamping peran manusia sebagai khalifah Allah SWT. Di muka bumi yang memiliki kebebasan, ia juga sebagai hamba Allah (‘abdullah). Seorang hamba Allah SWT harus taat dan patuh kepada perintah Allah SWT. Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah SWT dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam Al-Qur’an, maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun).
Dua peran yang diemban manusia di muka bumi sebagai khalifah dan ‘abd merupakan keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreativitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Kualitas kemanusiaan sangat bergantung pada kualitas komunikasinya dengan Allah SWT melalui ibadah dan kualitas interaksi sosialnya dengan sesama manusia melalui muamalah.[15]

B.     Konsep Pengetahuan Menurut Islam
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.[16]
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang telah diketahui. Cara mengetahui sesuatu dapat dilakukan dengan cara mendengar, melihat, merasa, dan sebagainya yang merupakan bagian dari alat indra manusia. Semua pengetahuan yang didasarkan secara indrawi dikategorikan sebagai pengetahuan empirik, artinya pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman menjadi bagian penting dari seluk-beluk adanya pengetahuan yang secara filosofis menjadi bagian dari epistemologis.[17]
Setiap manusia memiliki pengetahuan karena setiap manusia pernah mengalami sesuatu dan setiap pengalamannya dapat dijadikan landasan dalam berpikir dan bertindak. Akan tetapi, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda, maka dalam menyelesaikan masalahnya bersumber pada pengalaman yang beragam sehingga pengetahuan pun menjadi semakin banyak.[18]
Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia. Ilmu adalah bekal yang diperlukan manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjangkau kehidupan duniawi dan ukhrawinya. Ilmu digapai manusia untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran bagi ilmuwan mempunyai kegunaan khusus, yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya.[19]
Di dalam Al-Qur’an terdapat ratusan ayat yang menerangkan ilmu, ajakan untuk berpikir dan melakukan penalaran (mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Tercatat ada 80 ayat yang mengandung kata ilmu, 63 ayat yang mengandung ajakan untuk berpikir, 45 ayat yang mangajak untuk melakukan penalaran (mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), 16 ayat yang menyanjung orang-orang yang suka menggunakan akalnya, dan 24 ayat yang memberikan lampu merah terhadap kebodohan.[20]
Salah satu ayat yang menunjukan keutamaan orang yang berilmu pengetahuan  adalah firman Allah dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai orang-orang beriman! apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Mujadilah:11).[21]
Sejarah islam telah mencatat bahwa ilmuwan muslim telah mamperlihatkan kepada kita tentang pentingnya ilmu dalam dunia kehidupan dan pendidikan. Nama-nama seperti Ar-Razi (Rhases, 856-925 M), Ali Abbas (wafat 944 M), Ibnu Sina (Avicenna, 930-1037 M), dan Ibnu Rusyd (Avenrroes, wafat 1198 M) adalah para ilmuwan muslim yang karya-karyanya memiliki pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan. Misalnya buku karangan Ibnu Sina yang berjudul Al-Qanun fit-Thib (Canon of Medicine) yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Buku tersebut menjadi buku induk mahasiswa kedoteran pada masa itu. Buku tersebut tak henti-hentinya dibaca, dipelajari, diterjemahkan, diterbitkan, dan didiskusikan sampai abad ke-18 M. Ibnu Sina juga mendapat julukan Father of Doctors.[22]
Derajat kehidupan manusia akan sangat ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tanpa ilmu, derajatnya akan rendah. Akan tetapi, ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia wajib dilindungi oleh keimanan karena yang manusia berilmu, tetapi tidak beriman, maka kehidupannya akan porak poranda. Dengan demikian, ilmu dan iman adalah kajian mendasar dari filsafat pendidikan Islam yang hakikatnya semua ilmu digunakan untuk memperkuat keimanan dan keimanan harus ditingkatkan oleh ilmu pengetahuan.[23]
Asy-Syaibani mengatakan bahwa pengetahuan yang sebenarnya ialah yang cukup keyakinan dan pasti, merendah diri di depan keagungan Allah dan luasnya ilmu-Nya, sesuai dengan jiwa agama dan prinsip akhlak yang mulia yang telah ditentukannya sehingga menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam jiwa, tepat dan obyektif, dan meneguhkan amal yang baik, pengalaman yang berjaya dan memudahkan jalan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hal-hal tersebut ialah syarat-syarat dan unsur-unsur pengetahuan  yang terpenting dalam islam.[24]
Dengan memperhatikan motivasi Al-Quran untuk menuntut ilmu, cara-cara mendapatkan ilmu dalam islam, dan Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan islam harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Quran. Al-Quran tidak ubahnya seperti suatu samudera ilmu pengetahuan, makin sanggup manusia mengarunginya semakin banyak hasil yang diperolehnya. Di dalam pengembangan ilmu, lembaga pendidikan islam harus menggali ilmu pengetahuan dari sumbernya berupa ayat Quraniyah dan ayat Kauniyah. Lembaga pendidikan islam juga harus selalu menanamkan terhadap peserta didiknya bahwa usaha untuk mempelajari, menggali dan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya itu dalam rangka pengabdian kepada Allah swt sebagai Khaliq (pencipta) ilmu pengetahuan. [25]

C.    Konsep Alam Menurut Islam
Alam berjalan sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. Alam dapat menjadi subjek maupun objek pendidikan dan pembelajaran. Kita bisa melihat bagaimana matahari konsisten untuk terbit dan terbenam sesuai dengan hukumnya. Hukum Allah juga berlaku pada bumi, air, api, angin, daratan, lautan, gunung-gunung, hutan, dan pepohonan.
Bumi dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya sebagai tempat manusia beraktivitas adalah karunia Allah yang sangat besar dan wajib disyukuri. Allah berfirman dalam QS. Al-Mulk ayat 15 yang berbunyi:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya:
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu  dibangkitkan.”(Q.S.Al-Mulk:15).[26]

Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, alam adalah guru manusia. Kita semua wajib belajar dari sikap alam semesta yang tunduk mutlak pada hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah.  Alam semesta bagaikan literatur yang amat luas dan kaya dengan informasi yang aktual. Alam mempertontonkan karyanya yang dinamis kepada manusia yang berniat belajar seumur hidup.[27]
Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia sehingga manusia dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya dimuka bumi.[28] Hal tersebut ditegaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menyeru dan mengundang manusia untuk mengamati dan merenungi wajah dan rahasia alam. Beberapa ayat yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Q.S. Al-Jatsiyah: 13, Q.S.An-Nahl: 12, Q.S.An-Nahl: 14, Q.S.An-Nahl:  18, Q.S.Al-An’am: 97, dan Q.S.Yunus:5.[29]
Kedudukan manusia terhadap alam adalah sebagai pemanfaat dan penjaga kelestariannya (Q.S.Al-Jumuah:10 dan Q.S. Al-Baqarah:60), sebagai peneliti alam (Q.S.Al-Baqarah:164), dan sebagai khalifah yang mengatur alam (Q.S.Al-An’am:165).[30]
Manusia harus memanfaatkan akalnya untuk berpikir tentang pemberdayaan alam bagi manusia. Akal yang dimiliki manusia merupakan kecakapan untuk menciptakan alat-alat kerja bagi dirinya. Akal itu timbul karena penyesuaian manusia dengan dunia sekitarnya.[31]
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa manusia harus senantiasa belajar kepada alam. Manusia yang tidak mau belajar dari konsistensi kehidupan alam, maka sifatnya akan berubah bagaikan binatang, saling menipu, saling membunuh, dan sebagainya. Rusaknya kehidupan alam disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak mau belajar dari alam semesta. Misalnya, kasus penebangan hutan liar yang mengakibatkan hutan gundul, erosi, banjir, dan sebagainya.[32]


[1] N. Drijarkara S.J., Filsafat Manusia, (Yogyakarta:Yayasan Kanisius,1978), hal.7.
[2] Ibid.,hal.18-19.
[3] Zuhairini,dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara,1995), hal.79.
[4] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat PendidIkan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta:Rajawali Press,2011), hal.147-148.
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:Mizan,1996), hal.278.
[6] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997), hal.31.
[7] Ibid.,hal.279.
[8] Lihat Q.S. Al-Muddatsir:27.
[9] Ibid.,Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam....,hal.34.
[10] Ibid., M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an….,hal.280.
[11] Ibid., Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam….,hal.34.
[12] Ibid.,hal.35.
[13] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta:Al-Husna Zikra,1995), hal.46.
[14] Ibid.,Abd. Rachman Assegaf, Filsafat PendidIkan Islam….,hal.157.
[15] Ibid.,hal.158.
[16] Ibid.,M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an….,hal.434.
[17] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Pustaka Setia,2009), hal.26.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hal.43-44.
[20] Ibid., hal.45.
[21] Al-Qur’an Digital versi 1.1.3. tahun 2003.
[22] Ibid., hal.45-46.
[23] Ibid., hal.47.
[24] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj.), (Jakarta:Bulan Bintang,1979), hal.295.
[25] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta:Kalam Mulia,2009), hal.80.
[26] Al-Qur’an Digital versi 1.1.3. tahun 2003.
[27] Ibid., hal.21-22.
[28] Hamdani Hasan dan A.Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2001), hal.50.
[29] Ibid., Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan…., hal.76-77..
[30] Ibid., hal.51-54.
[31] Ibid., hal.25.
[32] Ibid., Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam…., hal.22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar