A.
Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun nama lengkapnya adalah Abdullah abd al- Rahman Abu Zayd Ibn
Muhammad Ibn Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 1
Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Beliau hidup dan
berkembang dalam sebuah keluarga asli arab dari Qabilah Yamani yang menekuni
ilmu dan politik. Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ayahnya adalah seorang
yang berkecimbung dalam dunia perpolitikan, kemudian ayahnya mengundurkan diri
dari bidang politik dan dia menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Ayahnya
sangat ahli dalam bahasa dan sastra arab. Ayahnya meninggal pada tahun
794H/384M akibat wabah pes yang melanda afrika utara, pada saat itu Ibnu
Khaldun baru berusia 18 tahun.[1]
Pada tahun 1362 Ibnu
Khladun pindah ke Negara Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia
menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro (raja Granada) dan raja
Castila di Sevilla. Karena kecakapan yang luar biasa, ia ditawari kerjasama
oleh penguasa kristiani, dengan imbalan tanah bekas milik keluarganya
dikembalikan kepadanya.akan tetapi Ibnu Khaldun pada akhirnya memilih
bekerjasama dengan raja Granada, dan ia memboyong keluarganya dari Afrika. Ia
tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke afrika dan diangkat
menjadi perdana mentri oleh sultan al-jazair.
Pada tahun 1382, ia
melaksanakan ibadah haji. Setelah melaksanakan haji, ia kemudian berangkat ke
Iskandariah dan selanjutnya ke Mesir. Di Mesir, ia kemudian diangkat menjadi
Ketua Mahkamah Agung pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Selain dikenal
sebagai filosof, Ibnu Khaldun juga terkenal sebagai sosiolog yang memiliki
perhatian besar terhadap bidang pendidikan. Pada tahun 1406, Ibnu Khaldun meninggal
di Mesir pada usia 74 tahun.
Pendidikan pertama yang
beliau pelajari pada masa kecilnya adalah mempelajari dasar-dasar ilmu bahasa
arab tentang pemahaman dasar-dasar Al-Qur’an, beliau belajar ini kepada gurunya
yang bernama Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Said Al-Anshary. Beliau
mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menekuni ilmu pengetahuan Tidak sedikit
guru-guru yang telah beliau timba ilmunya, antara lain Syaikh Abu Abdullah Ibn
al- Arabial- Hasyiri, , Muhammad Al-Syawas Al-Zarazli, Ahmad Ibn Al-Qassar
(bellajar ilmu Hadis, Bahasa Arab, Fiqh), Abdullah Muhammad Ibn Abd al-Salam
(tentang kitab al- Muwattha’ karya Imam Malik), Muhammad Ibn Sulaiman al-Satti,
Abdullah al-Muhaimin al-Hadrami, dan Muhammad Ibn Ibrahim al-Abili (belajar
ilmu- ilmu pasti, Logika dan seluruh ilmu (teknik) kebijakan dan pengajaran
disamping dua ilmu pokok (Al-Qur’an dan Hadis).[2]
B.
Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah[3]:
a.
Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan
bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya fikiran dan kematangan
individu, yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi
masyarakat.
b.
Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang
membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka mewujudkannya
masyarakat yang maju dan berbudaya.
c.
Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk
mencari penghidupan.
Dari tujuan di atas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun
masyarakat manusia. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan
menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari
pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban
masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Inilah
kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Dalam konteks ini, Ibnu
Khaldun telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban
manusia.
2.
Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk
membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berfikir. Manusia dalam
berfikir mengalami tingkatan-tingkatan tertentu, yakni:[4]
a.
Pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu
yang ada di luar alam semesta, tatanan alam atau tata yang berubah-ubah.
Intelektualitas manusia dapat memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang
buruk, salah dan benar, terpuji dan tercela. Ibnu Khaldun menyebutnya sebagai
akal pembela atau al-aql at-tamyizi.
b.
Daya intelektualitas manusia yang didukung oleh
pengalaman hidupnya yang disebut sebagai akal eksperimental atau al-‘aql at
tajribi.
c.
Daya berfikir hipotesis yang melengkapi kesempurnaan
intelektualitas manusia melalui ketajaman analisis masalah yang dihadapi,
sehingga dapat memperkirakan sebagai kemungkinan secara rasional dan
spekulatif. Cara berfikir hipotesis harus didukung oleh ilmu, artinya manusia
dalam intelektualitas tingkatan ketiga sudah membekali diri dengan ilmu dan
dengan appersepsi terhadap sesuatu yang ada dibelakang segala hal yang sifatnya
indrawi. Relitas intelektual seperti ini tidak memutlakkan keberadaan yang indrawi
sebab tidak semua yang wujud harus inderawi dan yang inderawi harus wujud.
Sesungguhnya realitas itu bersifat fenomenal, menurut apa adanya dan keadaan
dirinya. Inilah yang disebut sebagai realitas kemanusiaan atau al-haqiqah
al-insaniyyah.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga
macam, yaitu:[5]
a.
Yaitu Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa
(gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya’ir).
b.
Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan
sunnah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al- Quran dan tafsirnya, sanad
dan hadits yang pentashihannya serta istimbat tentang kaidah-kaidah fiqih.
Dengan ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan
kepada manusia. Dari Al-Quran itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu
hadits, ilmu ushul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah
itu melalui cara istinbath.
c.
Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia
dengan daya pikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu
pengetahuan. Termasuk didalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika),
ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku (behavior)
manusia, termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu
nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini
dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar
perbintangan. Hal ini merupakan suatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid
yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah.
Di antara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:[6]
1)
Ilmu Syari’ah dengan semua jenisnya.
2)
Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
3)
Ilmu alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa,
gramatika, dan sebagainya.
4)
Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu
mantiq.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang
pertamakali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-quran kepada
anak termasuk syari’at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan
dijunjung tinggi oleh setiap negara islam. Al-quran yang telah ditanamkan pada
anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak
masih mudah, karena otak si anak masih jernih.
3.
Pendidik
Seorang pendidik hendaknya
memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik.
Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta
didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik
hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan
bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan
peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian
terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan
menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan
keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan
pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya,
seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan
efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu
diperhatikan pendidik, yaitu:[7]
a. Prinsip pembiasaan
b.
Prinsip tadrij
(berangsur-angsur)
c.
Prinsip pengenalan umum
(generalistik)
d.
Prinsip kontinuitas
e.
Memperhatikan bakat dan kemampuan
peserta didik
f.
Menghindari kekerasan dalam
mengajar.
4.
Peserta Didik
Ibnu Khaldun
memandang peserta didik sebagai yang belajar (muta’alim) atau seorang
yang perlu bimbingan (wildan). Dalam posisinya sebagai muta’alim,
peserta didik dituntut mengembangkan segala potensi yang Allah anugerahkan
kepadanya. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah-nya telah memberikan
beberapa petunjuk bagaimana seorang muta’alim
bisa berhasil dalam studinya.[8]
Ibnu Khaldun
memandang peserta didik sebagai subjek didik, bukan objek didik, yang memiliki
potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa
Ibnu Khaldunmemiliki pandangan yang optimistik terhadap peserta didik. Peerta
didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subjek didik yang dituntut kreativitasnya
agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan
sebagai ajang atau wahana yang dapat menumbuhkan kreativitas peserta didik.
Peserta didik sebagai subjek didik dituntut aktif dan kreatif dalam melakukan
proses belajarnya. Adapun dalam posisinya sebagai wildan, Ibnu
Khaldunmemandang peserta didik sebagai seorang anak manusia yang memerlukan
bantuan orang lain, agar terbimbing dalam kedewasaan. Dalam konteks ini Ibnu
Khaldun memandang peserta didik sebagaui objek didik yang memerlukan guru
sebagai subjek belajar.
Adanya
perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam merujuk pengertian peserta
didik, sebenarnya menandai adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap
awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Konsepsi ini
berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Misalnya, Ibnu Khaldun berkata:
“ketahuilah bahwa mengajarlkan Al-Quran kepada wildan merupakan suatu
syiar dari syiar agama”. Di sini, Ibnu Khaldun menggunakan kata wildan
bagi peserta didik yang belajar Al-Quran. Mengapa? Karena dalam tradisi Islam,
pendidikan Al-Quran disampaikan sejak permulaan, yakni pada jenjang pendidikan
dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’alim yang
dituntut mandiri dalam mengembangkan potensinya. Konsepsi ini berlaku pada
jenjang pendidikan tingkat tinggi. Pada tahap ini, karena peserta didik sudah
dapat berfikir rasional dan logis, maka mereka disebut muta’alim.
5.
Metode Pengajaran
Menurut Ibnu
Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanya akan efektif bila
dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak, dan sedikit demi
sedikit. Mengajar dengan hal-hal yang sederhana lebih dahulu kepada hal-hal
yang kompleks. Pertama-tama guru mengajarkan kepada muridnya problem-problem
yang prinsipil mengenai setiap cabang pembahasan yang diajarkan.
Keterangan-keterangan yang diberikan haruslah bersifat umum dan menyaluruh,
dengan memperhatikan kemampuan akal dan kesiapan pelajar memahami apa yang
diberikan kepadanya. Bila dengan cara ini seluruh pembahasan pokok telah
dipahami, pelajar yang bersangkutan telah memperoleh suatu keahlian yang masih
harus dilengkapi, sehingga hasil keseluruhan keahlian itu dapat menyiapkannya
memahami seluruh pembahasan pokok dengan segala seluk beluknya.[9]
Selanjutnya,
menjadi kewajiban guru kembali kepada pembahasan pokok, dan meningkatkan
pengajaran kepada tingkat yang lebih tinggi. Kali ini guru tidak boleh puas
hanya dengan cara pembahasan bersifat umum saja. Tetapi dia harus membahas
segi-segi yang menjadi pertentangan dari berbagai pandangan yang berbeda,
sehingga pembahasan seluruhnya sekali lagi diliput dan keahlian pelajaran yang
bersangkutan lebih disempurnakan.
Kemudian pada
suatu kali pelajar yang sudah terlatih harus digiring kepada masalah pokok yang
dibahas. Pada tahap ini tidak ada masalah penting, bagaimana sulitnya atau yang
menjadi pokok perbantahan, boleh ditinggalkan dan tak terbahas. Semua harus
diterangkan kepada si murid itu, hingga dia memungkinkan mencapai keahlian yang
sempurna.
Pandangan Ibnu
Khaldun yang demikian dirangkum oleh Mustofa Amin dalam Tarikh al-Tarbiyah.
Beliau membagi tiga tahap:pertama, diberikan kepada murid pokok-pokok
masalah (bahasan) dari tiap-tiap bab dari ilmu yang akan dikerjakan. Dijelaskan
secara global dari bab demi bab sampai akhir ilmu itu. Kedua, hendaknya
guru mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan pada langkah pertama,
dari awal secara terinci, tidak ada lagi yang mujmal dan membahas yang khilaf.
Ketiga,agar guu mengulangi lagi pelajaran yang sudah diberikan dari awal
(semacam review). Tidak ada lagi kesulitan/keraguan dalam pelajaran. Menurut
Ibnu Khaldun penyajian pelajaran yang berhasil melalui tiga langkah pengulangan
tersebut. Bila dianalisis secara detail metode yang dikemukakan Ibnu Khaldun, relevan
dengan pendapat para ahli pendidikan modern yang memunculkan metode-metode
pengajaran yaitu: Pertama,metode tadriji (berangsur-angsur).
Metode tadriji ini juga sesuai dengan kondisi psikologis manusia, yang tidak
dapat menerima materi sekaligus dalam jumlah banyak, tetapi sedikit demi
sedikit atau berangsur-angsur. Kedua, metode repetisi
(pengulangan). Dikalangan para pendidik modern, metode repetisi dekat dengan
metode evaluasi yaitu mengulang pelajaran yang telah disampaikan, untuk
mengetahui sampai delama tingkat penguasaan para pelajar terhadap materi yang
disampaikan guru. Pengulangan juga jangna terlalu banyak, sebab bagi pelajar
yang cerdas akan membosankan. Kalau diamati metode yang disebut Ibnu Khaldun,
hanya tiga kali pengulangan, dan pada kali ketiga juga hanya semacam review.
Jadi pada kali ketiga ini murid sudah dapat menguasai materi. Ketiga, dari
dua metode yang telah disebutkan diatas, memungkinkan sekali hasil yang dicapai
pelajar dapat menguasai secara tuntas terhadap materi yang telah diajarkan.
Jadi jika dikaitkan dengan teori pendidikan modern, Ibnu Khaldun telah
melaksakan pengajaran tuntas (mastery learning).[10]
6.
Kurikulum
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat
dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam
kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan syar’iyyah
dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan syar’iyyah
berkenaan dengan hukum dan ajara agama Islam. Ilmu ini diantaranya adalah
tentang al-Qur’an, Hadis, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme.
Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi logika, ilmu pengetahuan
alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu pengetahuan filosofis
juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan
potensi akalnya, setiap orang memiliki kemempuan untuk menguasainya dengan
baik.[11]
Ilmu pengatahuan syar’iyyah dan filosofis
merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling
berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi
ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam
yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik
yang memiliki kemempuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
Ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada
peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman.
Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwa, ilmu balaghah, dan syair. Kedua,
kurikulum sekunder, yaitu matakuliah yang menjadi pendukung untuk memahami
islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah falsafi, seperti logika, fisika,
metafisika, dan matematika, yang tergolong dalam al-ulum al-aqliyah. Ketiga,
kurikulum primer, yaitu matakuliah yang menjadi inti ajaran islam. Kurikulum
ini meliputi semua bidang al-ulum al-naqliyah, seperti ilmu tafsir, ilmu
hadis, ilmu qira’at, ilmu ushul figh dan fiqih, ilmu kalam, tasawuf, dan
lain-lain.[12]
7.
Spesialisasi
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam
salah satu pertukangan jarang sekali yang ahli dalam pertukangan lainnya,
misalnya tukang jahit. Hal ini disebabkan karena sekali seseorang telah menjadi
ahli dalam menjahit hingga keahliannya itu tertanam berurat berakar dalam
jiwanya, maka setelah itu ia tidak akan ahli dalam pertukangan batu atau kayu,
kecuali apabila keahlian yang pertama itu belum tertanam dengan kuat dan belum
memberi corak terhadap pemikirannya. Hal ini juga didasarkan pada alasannya
bahwa keahlian itu adalah sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh
serempak. Dan yang mereka pikirkan masih mentah, dan dalam keadaan masih kosong
akan lebih mudah mendapatkan keahlian-keahlian baru yang dapat mereka peroleh
dengan lebih mudah. Tetapi apabila jiwa itu telah bercorak dengan semacam
keahlian tertentu dan tidak lagi dalam keadaan kosong, maka cetakan keahlian
itu akan menjadikan jiwa itu kurang tertarik dan kurang bersedia menerima
keahlian-keahlian baru.[13]
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun
adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak sangat dipengaruhi
oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam
rangka melakanakan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan
adalah alat untuk membantu seseorang agar dapat hidup bermasyarakat dengan
baik.
Terimakasih sudah di posting di blog,, insya allah ini akan bermanfaat utk ummat...
BalasHapushamya allah lah yg bisa membalas ketulusan hatimu...
جزاكم الله خيرا كثيرا....
BalasHapus