Minggu, 13 Januari 2013

Ibnu Khaldun (pemikiran filosofisnya)



A.    Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun nama lengkapnya adalah Abdullah abd al- Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Beliau hidup dan berkembang dalam sebuah keluarga asli arab dari Qabilah Yamani yang menekuni ilmu dan politik. Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ayahnya adalah seorang yang berkecimbung dalam dunia perpolitikan, kemudian ayahnya mengundurkan diri dari bidang politik dan dia menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Ayahnya sangat ahli dalam bahasa dan sastra arab. Ayahnya meninggal pada tahun 794H/384M akibat wabah pes yang melanda afrika utara, pada saat itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.[1]
Pada tahun 1362 Ibnu Khladun pindah ke Negara Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro (raja Granada) dan raja Castila di Sevilla. Karena kecakapan yang luar biasa, ia ditawari kerjasama oleh penguasa kristiani, dengan imbalan tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepadanya.akan tetapi Ibnu Khaldun pada akhirnya memilih bekerjasama dengan raja Granada, dan ia memboyong keluarganya dari Afrika. Ia tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke afrika dan diangkat menjadi perdana mentri oleh sultan al-jazair.
Pada tahun 1382, ia melaksanakan ibadah haji. Setelah melaksanakan haji, ia kemudian berangkat ke Iskandariah dan selanjutnya ke Mesir. Di Mesir, ia kemudian diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Selain dikenal sebagai filosof, Ibnu Khaldun juga terkenal sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan. Pada tahun 1406, Ibnu Khaldun meninggal di Mesir pada usia 74 tahun.
Pendidikan pertama yang beliau pelajari pada masa kecilnya adalah mempelajari dasar-dasar ilmu bahasa arab tentang pemahaman dasar-dasar Al-Qur’an, beliau belajar ini kepada gurunya yang bernama Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Said Al-Anshary. Beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menekuni ilmu pengetahuan Tidak sedikit guru-guru yang telah beliau timba ilmunya, antara lain Syaikh Abu Abdullah Ibn al- Arabial- Hasyiri, , Muhammad Al-Syawas Al-Zarazli, Ahmad Ibn Al-Qassar (bellajar ilmu Hadis, Bahasa Arab, Fiqh), Abdullah Muhammad Ibn Abd al-Salam (tentang kitab al- Muwattha’ karya Imam Malik), Muhammad Ibn Sulaiman al-Satti, Abdullah al-Muhaimin al-Hadrami, dan Muhammad Ibn Ibrahim al-Abili (belajar ilmu- ilmu pasti, Logika dan seluruh ilmu (teknik) kebijakan dan pengajaran disamping dua ilmu pokok (Al-Qur’an dan Hadis).[2]

B.     Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah[3]:
a.       Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya fikiran dan kematangan individu, yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
b.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka mewujudkannya masyarakat yang maju dan berbudaya.
c.       Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.
Dari tujuan di atas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Inilah kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban manusia.
2.      Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berfikir. Manusia dalam berfikir mengalami tingkatan-tingkatan tertentu, yakni:[4]
a.       Pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta, tatanan alam atau tata yang berubah-ubah. Intelektualitas manusia dapat memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk, salah dan benar, terpuji dan tercela. Ibnu Khaldun menyebutnya sebagai akal pembela atau al-aql at-tamyizi.
b.      Daya intelektualitas manusia yang didukung oleh pengalaman hidupnya yang disebut sebagai akal eksperimental atau al-‘aql at tajribi.
c.       Daya berfikir hipotesis yang melengkapi kesempurnaan intelektualitas manusia melalui ketajaman analisis masalah yang dihadapi, sehingga dapat memperkirakan sebagai kemungkinan secara rasional dan spekulatif. Cara berfikir hipotesis harus didukung oleh ilmu, artinya manusia dalam intelektualitas tingkatan ketiga sudah membekali diri dengan ilmu dan dengan appersepsi terhadap sesuatu yang ada dibelakang segala hal yang sifatnya indrawi. Relitas intelektual seperti ini tidak memutlakkan keberadaan yang indrawi sebab tidak semua yang wujud harus inderawi dan yang inderawi harus wujud. Sesungguhnya realitas itu bersifat fenomenal, menurut apa adanya dan keadaan dirinya. Inilah yang disebut sebagai realitas kemanusiaan atau al-haqiqah al-insaniyyah.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:[5]
a.       Yaitu Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya’ir).
b.      Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al- Quran dan tafsirnya, sanad dan hadits yang pentashihannya serta istimbat tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Quran itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbath.
c.       Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk didalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku (behavior) manusia, termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal ini merupakan suatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah.
Di antara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:[6]
1)      Ilmu Syari’ah dengan semua jenisnya.
2)      Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
3)      Ilmu alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
4)      Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang pertamakali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-quran kepada anak termasuk syari’at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara islam. Al-quran yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.
3.      Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:[7]
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.       Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.      Prinsip kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.       Menghindari kekerasan dalam mengajar.  

4.      Peserta Didik
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai yang belajar (muta’alim) atau seorang yang perlu bimbingan (wildan). Dalam posisinya sebagai muta’alim, peserta didik dituntut mengembangkan segala potensi yang Allah anugerahkan kepadanya. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah-nya telah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seorang  muta’alim bisa berhasil dalam studinya.[8]
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai subjek didik, bukan objek didik, yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa Ibnu Khaldunmemiliki pandangan yang optimistik terhadap peserta didik. Peerta didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subjek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan sebagai ajang atau wahana yang dapat menumbuhkan kreativitas peserta didik. Peserta didik sebagai subjek didik dituntut aktif dan kreatif dalam melakukan proses belajarnya. Adapun dalam posisinya sebagai wildan, Ibnu Khaldunmemandang peserta didik sebagai seorang anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing dalam kedewasaan. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagaui objek didik yang memerlukan guru sebagai subjek belajar.
Adanya perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam merujuk pengertian peserta didik, sebenarnya menandai adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Konsepsi ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Misalnya, Ibnu Khaldun berkata: “ketahuilah bahwa mengajarlkan Al-Quran kepada wildan merupakan suatu syiar dari syiar agama”. Di sini, Ibnu Khaldun menggunakan kata wildan bagi peserta didik yang belajar Al-Quran. Mengapa? Karena dalam tradisi Islam, pendidikan Al-Quran disampaikan sejak permulaan, yakni pada jenjang pendidikan dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’alim yang dituntut mandiri dalam mengembangkan potensinya. Konsepsi ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat tinggi. Pada tahap ini, karena peserta didik sudah dapat berfikir rasional dan logis, maka mereka disebut muta’alim.  
5.      Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanya akan efektif bila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak, dan sedikit demi sedikit. Mengajar dengan hal-hal yang sederhana lebih dahulu kepada hal-hal yang kompleks. Pertama-tama guru mengajarkan kepada muridnya problem-problem yang prinsipil mengenai setiap cabang pembahasan yang diajarkan. Keterangan-keterangan yang diberikan haruslah bersifat umum dan menyaluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal dan kesiapan pelajar memahami apa yang diberikan kepadanya. Bila dengan cara ini seluruh pembahasan pokok telah dipahami, pelajar yang bersangkutan telah memperoleh suatu keahlian yang masih harus dilengkapi, sehingga hasil keseluruhan keahlian itu dapat menyiapkannya memahami seluruh pembahasan pokok dengan segala seluk beluknya.[9]
Selanjutnya, menjadi kewajiban guru kembali kepada pembahasan pokok, dan meningkatkan pengajaran kepada tingkat yang lebih tinggi. Kali ini guru tidak boleh puas hanya dengan cara pembahasan bersifat umum saja. Tetapi dia harus membahas segi-segi yang menjadi pertentangan dari berbagai pandangan yang berbeda, sehingga pembahasan seluruhnya sekali lagi diliput dan keahlian pelajaran yang bersangkutan lebih disempurnakan.
Kemudian pada suatu kali pelajar yang sudah terlatih harus digiring kepada masalah pokok yang dibahas. Pada tahap ini tidak ada masalah penting, bagaimana sulitnya atau yang menjadi pokok perbantahan, boleh ditinggalkan dan tak terbahas. Semua harus diterangkan kepada si murid itu, hingga dia memungkinkan mencapai keahlian yang sempurna.
Pandangan Ibnu Khaldun yang demikian dirangkum oleh Mustofa Amin dalam Tarikh al-Tarbiyah. Beliau membagi tiga tahap:pertama, diberikan kepada murid pokok-pokok masalah (bahasan) dari tiap-tiap bab dari ilmu yang akan dikerjakan. Dijelaskan secara global dari bab demi bab sampai akhir ilmu itu. Kedua, hendaknya guru mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan pada langkah pertama, dari awal secara terinci, tidak ada lagi yang mujmal dan membahas yang khilaf. Ketiga,agar guu mengulangi lagi pelajaran yang sudah diberikan dari awal (semacam review). Tidak ada lagi kesulitan/keraguan dalam pelajaran. Menurut Ibnu Khaldun penyajian pelajaran yang berhasil melalui tiga langkah pengulangan tersebut. Bila dianalisis secara detail metode yang dikemukakan Ibnu Khaldun, relevan dengan pendapat para ahli pendidikan modern yang memunculkan metode-metode pengajaran yaitu: Pertama,metode tadriji (berangsur-angsur). Metode tadriji ini juga sesuai dengan kondisi psikologis manusia, yang tidak dapat menerima materi sekaligus dalam jumlah banyak, tetapi sedikit demi sedikit atau berangsur-angsur. Kedua, metode repetisi (pengulangan). Dikalangan para pendidik modern, metode repetisi dekat dengan metode evaluasi yaitu mengulang pelajaran yang telah disampaikan, untuk mengetahui sampai delama tingkat penguasaan para pelajar terhadap materi yang disampaikan guru. Pengulangan juga jangna terlalu banyak, sebab bagi pelajar yang cerdas akan membosankan. Kalau diamati metode yang disebut Ibnu Khaldun, hanya tiga kali pengulangan, dan pada kali ketiga juga hanya semacam review. Jadi pada kali ketiga ini murid sudah dapat menguasai materi. Ketiga, dari dua metode yang telah disebutkan diatas, memungkinkan sekali hasil yang dicapai pelajar dapat menguasai secara tuntas terhadap materi yang telah diajarkan. Jadi jika dikaitkan dengan teori pendidikan modern, Ibnu Khaldun telah melaksakan pengajaran tuntas (mastery learning).[10]   
6.      Kurikulum
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan syar’iyyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan syar’iyyah berkenaan dengan hukum dan ajara agama Islam. Ilmu ini diantaranya adalah tentang al-Qur’an, Hadis, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemempuan untuk menguasainya dengan baik.[11]
Ilmu pengatahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemempuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
Ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwa, ilmu balaghah, dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu matakuliah yang menjadi pendukung untuk memahami islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah falsafi, seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika, yang tergolong dalam al-ulum al-aqliyah. Ketiga, kurikulum primer, yaitu matakuliah yang menjadi inti ajaran islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al-ulum al-naqliyah, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qira’at, ilmu ushul figh dan fiqih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain.[12]
7.      Spesialisasi
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam salah satu pertukangan jarang sekali yang ahli dalam pertukangan lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini disebabkan karena sekali seseorang telah menjadi ahli dalam menjahit hingga keahliannya itu tertanam berurat berakar dalam jiwanya, maka setelah itu ia tidak akan ahli dalam pertukangan batu atau kayu, kecuali apabila keahlian yang pertama itu belum tertanam dengan kuat dan belum memberi corak terhadap pemikirannya. Hal ini juga didasarkan pada alasannya bahwa keahlian itu adalah sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. Dan yang mereka pikirkan masih mentah, dan dalam keadaan masih kosong akan lebih mudah mendapatkan keahlian-keahlian baru yang dapat mereka peroleh dengan lebih mudah. Tetapi apabila jiwa itu telah bercorak dengan semacam keahlian tertentu dan tidak lagi dalam keadaan kosong, maka cetakan keahlian itu akan menjadikan jiwa itu kurang tertarik dan kurang bersedia menerima keahlian-keahlian baru.[13]
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka melakanakan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar dapat hidup bermasyarakat dengan baik.


[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 281
 [2] Ibid., hlm.282
[3] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.242.
[4] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2009), hal.232-233.
[5] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.175-176.
[6] Ibid, hal.176.
[7] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 94-95.
[8] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.244..

[9] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 262.
[10] Ibid, hal. 262-264.
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 95.
[12] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.249.
[13] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 178

2 komentar:

  1. Terimakasih sudah di posting di blog,, insya allah ini akan bermanfaat utk ummat...
    hamya allah lah yg bisa membalas ketulusan hatimu...

    BalasHapus
  2. جزاكم الله خيرا كثيرا....

    BalasHapus