A.
Perpektif Al-Quran Tentang Perkembangan Manusia
Istilah
perkembangan yaitu serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat
dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti bahwa perkembangan bukan
sekedar penambahan berapa sentimeter tinggi badan seseorang atau peningkatan
kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan
fungsi yang kompleks.[1]
Firman Allah surat Al-Hajj :
5
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ
الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ
عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ
لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنْكُمْ مَنْ
يُتَوَفَّىٰ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا
يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا
أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ
زَوْجٍ بَهِيجٍ
“Hai
manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka
(ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada
yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai
pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah
diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan
air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah”.(QS. Al-Hajj:5)[2]
Demikianlah
konsep al-Quran tentang penciptaan manusia dari keturunannya yang dapat kita
mengerti secara terang-terangan. Dengan mempelajari konsep-konsep Al-Quran
tentang penciptaan manusia, secara otomatis telah menolak teori evolusi Darwin
yang menyatakan bahwa manusia itu berevolusi dari bentuk yang sangat sederhana
kemudian meningkat menjadi binatang kera dsan akhirnya menjadi Homo Sapien yang
mempunyai akal budi.[3]
Nenek
moyang manusia adalah Adam. Dalam Al-Quran sudah jelas bahwa Allah menciptakan
Adam dari tanah. Sedangkan Bani Adam melajutkan perkembangbiakannya dengan
terjadinya proses biologis.
B.
Proses Perkembangan Manusia dalam Pandangan Islam
Tuhan menciptakan manusia dari ruh dan jasad. Proses
penciptaannya pun rumit dan penuh misteri sebanding dengan jati dirinya yang
unik, misteri dan tak terduga. Ruh dan jasad adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain dan keduanya merupakan satu kesatuan dan saling
menyempurnakan dalam pembentukan yang namanya manusia.
Asal manusia dibagi menjadi dua yakni Adam sebagai
nenek moyang manusia dan manusia pada umumnya sebagai keturunan Adam.
Penyebutan asal usul penciptaan Adam beragam dalam Al-Quran. Al-Quran memakai
terma tin, turab, shalshal,seperti
fakhkhar, dan shalshal yang
berasal dari hama’ masnun. Hal
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Kata Tin
Kata tin antara lain terdapat dalam Q.S Al-Mu’mimun (23):12; Al-Sajadah
(32):7; Al-An’am(6):2; Al-A’raf (7):12; As-Shoffat (37):11; Al-Isra’ (17):61;
Shad (38):71. Pada umumnya para mufassir kata tin dengan sari pati tanah lumpur atau tanah liat. Menurut ibnu
Katsir, Ahmad Mustofa, Jamal dan Maghnujah bahwa kata tin menupakan bahan penciptaan Adam dari saripati tanah. Menurut
Baharudin bahwa tin dalam QS.As-Sajadah
(32):7 adalah tanah yakni atom zat air (hidrohenium) dan kata tin lazim pada Q.S As-Shaffat
(37):11adalah zat besi (ferrum). [4]
2.
Kata Turab
Kata Turab terdapat dalam Q.S Al-Kahfi(18):37; Al-Hajj
(22):5; Ali Imron(3):59; Ar-Rum(30):20; Fatir(35):11. Menurut Nazwar Syamsu
bahwa semua ayat yang mengandung kata turab berarti saripati tanah. Muhammad
Jawwad membagi asal usul manusia menjadi dua yakni langsung dari saripati tanah
tanpa perantara dan yakni asal usul Adam dan tidak langsung dari tanah seperti
menciptakan Bani Adam.[5]
Maksudnya tidak langsung ini adalah manusia terbentuk dari nutfah (air mani), dan air mani itu terbentuk dari makanan-makanan
yang di konsumsi manusia dan makanan-makanan tersebut berkaitan dengan air dan
tanah.
3.
Shalshal seperti fakhkhar
yang berasal dari hama’ masnun.
Kata shalshal terdapat dalam
QS. Ar-rahman:14, Al-hijr: 26,28 dan 33. Menurut Fachrur Razy maksud dengan shalshal adalah tanah kering yang
bersuara dan belum dimasak. Jika shalshal
itu telah dimasak, jadilah ia tembikar (fakhkhar).
Sebagai komponen penciptaan Adam.[6]
Proses perkembangan manusia di dalam rahim menurut QS.
Al-Mu’minun:12-14, Al-Hajj:5, dan Al-Mu’min:67
1.
Benih (ovarium, female nucleus) yang berasal dari
saripati tanah.
2.
Sperma (spermatozoon) yang berasal dari saripati
tanah.
3.
Benih (ovum) dan spermatozoon dalam rahim.
4.
Segumpal darah (‘alaqoh).
5.
Segumpal daging (mudhghoh).
6.
Tulang belulang.
7.
Tulang belulang yang dibungkus daging, dan roh
ditiupkan.
8.
Menjadi makhluk hidup.
9.
Menanti kelahiran.
10. Saat kelahiran.
11. Rahim kembali
seperti semula.[7]
Di dalam Al-Quran dijelaskan secara sosiologis dan fisiologis
tentang perkembangan manusia, antara lain:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ
تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."(QS. Al-Baqarah:30)[8]
Dalam ayat
itu dijelaskan bahwa manusia diciptakan di muka bumi sebagai khalifah atau
wakil Allah di muka bumi dengan menjaga kelestarian alam sebagai karunia Allah
dan saling menjaga antar saudara.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ
بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا أَتَاكُمْ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ
الْعِقَابِ وَاِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Dan Dia
lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.
Al-An’am: 165)[9]
Setiap
manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia akan diuji Allah
untuk meninggikan kedudukannya di dunia maupun di akhirat.
Secara rasional kita tidak dapat mengingkari bahwa
manusia ini tidak dapat hidup dengan baik tanpa bermasyarakat. Aristoteles
mengatakan, Zoon Politicon, dan di dalam hidup bermasyarakat ini tidak dapat
ketenteraman dan kedamaian serta keadilan tanpa adanya pemimpin masyarakat yang
taat pada Allah. [10]
C.
Manusia dan Fitrah Perkembangan
Manusia diciptakan Allah selain menjadi hamba-Nya,
juga menjadi penguasa (khalifah) di bumi. Selaku menjadi hamba dan khalifah,
manusia telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah (fisiologi) dan rohaniah
(psikologi) yang dapat dikembangkan semaksimal mungkin, untuk melaksanakan
tugas pokoknya di dunia. Kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah tersebut dapat dikembangkan
melalui pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan dijadikan alat (sarana) yang
menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebt dapat
dicapai.
Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui
pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk
menjadi baik menurut kehendak pencipta-Nya. Karena mengingat Allah yang telah
menggaris bawahkan, bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan dua arah, yaitu:
kearah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan kearah perbuatan takwa
(mentaati peraturan), seperti firman Allah dalam Surah AS Syams ayat 7-10
berikut ini:
وَنَفْسٍ وَ مَا سَوّهَا. فُأَ لْهَمَهَا فُجُوْرَهَا
وَتَقْوَهَا. قَدْاَفْلَحَ مَنْ زَ كّهَا. وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسّهَا.
“Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikkan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah
orang ang menyucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.” (AS Syams ayat 7-10)
Dengan demikian, manusia diberi kemungkinan untuk
mendidik diri sendiri dan orang lain untuk menjadi sosok pribadi yang beruntung
sesuai kehendak Allah melalui berbagai usaha. Manusia diberi kebebasan untuk
menentukan dirinya melalui upayanya sendiri. Ia tidak akan mendapatkan sesuatu
kecuali melalui usahanya.[11]
1.
Individualisasi dan Sosialisasi
Bilamana tujuan pendidikan islam itu diarahkan kepada
pembentukan manusia seutuhnya, berarti proses kependidikan yang dikelola oleh
para pendidik harus berjalan di atas pola dasar dari fitrah manusia yang telah
dibentuk oleh Allah dalam setiap pribadi manusia itu. Salah satu aspek potensial
dari fitrah manusia tersebut adalah
kemampuan berfikir manusia, dimana rasio dan kecerdasan menjadi pusat
perkembangannya. Para pendidik muslim sejak dahulu menganggap bahwa kemampuan
berfikir inilah yang menjadi pembada antara manusia dengan makhluk-makhluk yang
lainnya.
Dalam kaitannya dengan kemampuan dasar tersebut, Abul
A’la Al-Maududi, menyatakan bahwa manusia telah dibentuk oleh Tuhan dalam dua
suasana kegiatan yang berbeda . Pertama, ia berada di dalam suasana
dimana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum Tuhannya. Kedua,
manusia telah dianugerahi kemampuan akal dan kecerdasan. Dia dapat berfikir dan
membuat pertimbanan dengan akalnya untuk memilih dan menolak serta menerima
ataupun membuangnya. Dia telah diberi kemampuan bebas berkehendak dan dapat
menetapkan arah perbuatannya sendiri.
Jadi, manusia disini tidak seperti makhluk lainnya,
karena manusia telah diberi kebebasan oleh Tuhan untuk berfikir, berbuat, dan
memilih. Namun, pada hakekatnya manusia dilahirkan sebagai seorang muslim, dalam
arti bahwa segala gerak dan tingkah lakunya cenderung berserah diri kepada
Penciptanya. Tetapi dilain pihak,
manusia diberi kebebasan memilih dan berkehendak untuk menentuka apakah
ia akan menjadi seorang muslim atau non muslim. Itu tergantung pada pengalaman
dan lingkungan manusia tersebut.
Tuhan tidak sekaligus menjadikan manusia di bumi ini
untuk beriman kepada-Nya, karena hal tersebut bukanlah proses manusiawi atau
alami. Untuk menjadikan manusia mukmin harus melalui proses kependidikan yang
berkeimanan dan islami, begitu pula untuk menjadi manusia non muslim (misalnya:
Kristen dan Yahudi) juga melalui proses pengalaman kependidikan yang seirama
dengan ideologinya.
Jadi, faktor ikhtiarlah yang mengandung nilai
pedagogis yang menentukan kedudukan atau martabat kemanusiaanya selaku hamba
Allah yang secara individual dan sosial senantiasa membina hubungan dengan
Allah dan hubungan dengan masyarakatnya.[12]
2.
Pengembangan Kepribadian
Dengan melalui proses kependidikan yang terencana
dengan baik, maka kepribadian manusia dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan
yang diteapkan atau paling tidak dapat mendekati tujuan tersebut. Sifat-sifat
unik yang menggejala pada seseorang yang memiliki kepribadian tertentu
menggambarkan aspirasi dan arah tujuan hidup tertentu. Sehingga dalam
pengamatan jangka panjang kita dapat melihat bahwa seseorang tersebut telah
memiliki pandangan hidupnya (filsafat). Pandangan hidupnya ini berlangsung
dalam perilakunya yang konsisten dalam berfikir, berbuat dan bersikap sepanjang
waktu.
Dalam hubungannya dengan pendidikan islam,
pengembangan kepribadian manusia merupakan perwujudan nilai-nilai dan
norma-norma islami. Nilai dan norma islami yang harus diacu kedalam pribadi
peserta didik dijabarkankedalam sistem kependidikan secara makro dan mikro.
Secara makro, berarti nilai dan norma islami mendasari proses penetapan
kebijaksanaan umum yang mengarah dan memberi ruang lingkup perencanaan program
operasional kependidikan, baik secara instusional maupun secara psikologis.
Sedangkan secara mikro, berarti pendidikan secara operasional sebagai proses
yang melaksanakan program-program kependidikan yang bertujuan merealisasikan
nilai-nilai dan norma-norma islami itu.
DR.
Fadhil Al-Djamaly menggambarkan kepribadian muslim sebagai muslim yang
berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tiap langkah hidupnya. Bagi Ibnu
Sina, seorang filosof pendidikan islam ilmuyang dididikkan bukan hanya yang
diajarkan pada pribadi peserta didik, tetapi merupakan esensi kepribadiannya. Pendidikan
sebagai proses menginternalisasikan nilai-nilai dalam pribadi peserta didik
yang bertumpu pada kemampuan atau kapasitas belajar dalam setiap pribadi
peserta didik. Untuk proses internalisasi nilai tersebut dapat dilakukan
melalui pendidikan yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau melalui pendidikan
dari orang lain. Namun, kedua proses belajar tersebut pada hakikatnya selalu
terjadi saling mempengaruhi, karena orang yang mengajar orang lain senantiasa
memberikan stimulasi atau motivasi agar ia belajar sendiri yang didorong dari
dalam diri seseorang tersebut.[13]
D.
Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
1.
Potensi yang Dimiliki manusia
Al Qur’an memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami
manusia secara komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah kata al-insan dan
al-basyar. Kata insan yang dibentuk jamaknya al-nas dari
segi semantic (ilmu tentang akar kata), dapat dilhat dariasal kata anasa
yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta ijin. Atas dasar kata
tersebut mengandung kata petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia
dengan kaitan penalarannya itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang
dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan
terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Selanjutnya kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang
artinya lupa,menunjukkan adanya kaitan yang erat antara manusia dengan
kesadaran dirinya.
Dengan demikian, penggunaan insan dan basyar
dalam al Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun
sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Mannusia dalam konteks insan adalah
manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek budaya dalam
pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat
sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada
aktifitas fisiknya.[14]
Ulama
menyimpulkan bahwa manusia itu merupakan perpaduan antara unsur jasmani dan
rohani, unsur fisik dan jiwa yang antara satu dengan yang lain saling
berhubungan. Dengan kata lain, bahwa manusia itu memiliki kelengkpan jasmani
dan rohani, dan dengan kelengkapan jasmaninya ia dapat melaksanakan
tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik. Serta dengan kelengkapan
rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang dapat berfungsi dengan baik
dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dengan hubungan ini,
pendidikan sangat memegang peranan yang sangat penting.
2.
Kedudukan manusia dan alam semesta
Kedudukan
manusia di alam semesta ini di samping sebagai khalifah yang memiliki
kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang
dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd, yaitu seluruh usaha dan
aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka untuk beribadah kepada Allah.
Dengan pandangan
yang terpadu ini, maka sebagai seorang khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang
mencermnkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat
melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah yang baik, manusia perlu diberikan
pendidikan, penngajaran, pengalaman, keterampilan, teknolgi, dan sarana
pendukun lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah
dalam al Qur’an erat kaitannya ngan pendidikan. [15]
Alam kodrat ini bukannya
memusihi manusia, ia sesekali tidak menghambat usaha insan untuk maju. Ia tidak
kikir, muka bumi yang permai yang mendekati wujud manusia bukanlah tempat
buangan seperti yang diungkapkan oleh setengah penulis cendekiawan.
Alam yang
terbentang luas ini adalah teman yang setia bagi manusia. Ia boleh digunakan
untuk maju. Untuk memberi pengkhidmatan dan memudahkan hidup insan dan
keturunannya. Alam boleh menjadi sumber ilham dan tanda untuk menolong akal
manusia berfikir mencari kebenaran.[16]
Amatlah besar
keuntungan insan andainya ia mengerti bagaimana memanfaatkan hasil buminya. Bagaiman
membelanjakan sumber kemewahan dengan bijak dan demi kepentingan manusia
seluruhnya. Berbahagialah insan yang dalam kesibukan hidupnya senantiasa
mengingat kebesaran dan karunia Allah kepadanya. Dengan keinsyafan itu ia tidak
pula sampai berlebih-lebihan dan mubazir.
[1] Elisabeth B.
Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta:
Erlangga), hal. 2
[2] Departemen
Agama, Al-Quran dan Terjemahan Jumunatul
‘Ali, (Bandung: CV Penerbit J-Art), hal. 332
[3] Syahid
Mu’ammar Pulungan, manusia dalam
Al-quran, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), hal. 33
[4] Maragustam S, Mencetak
Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna, (Yogyakarta: ,2010), hal. 59-60
[5] Ibid., hal.60
[6] Ibid.,hal. 68
[7] Syahid
Mu’amma… hal.55
[8] Departemen
Agama, Al-Quran dan Terjemahan Jumunatul ‘Ali, (Bandung: CV Penerbit J-Art),
hal. 6
[9] Ibid., hal. 150
[10] Syahid Mu’ammar
____, hal.38
[11] Muzayyin
Arifin, “Filsafat Pendiikan Islam”, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal.
141-142.
[12] Ibid, hal.
149
[14]
Abuddin Nata, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta:Gaya Media Pratama,
2005)hlm. 81-87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar