Minggu, 13 Januari 2013

Unsur Esensial Perkembangan Manusia



A.    Perpektif Al-Quran Tentang Perkembangan Manusia
Istilah perkembangan yaitu serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan berapa sentimeter tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.[1]
Firman Allah surat Al-Hajj : 5
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.(QS. Al-Hajj:5)[2]
Demikianlah konsep al-Quran tentang penciptaan manusia dari keturunannya yang dapat kita mengerti secara terang-terangan. Dengan mempelajari konsep-konsep Al-Quran tentang penciptaan manusia, secara otomatis telah menolak teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia itu berevolusi dari bentuk yang sangat sederhana kemudian meningkat menjadi binatang kera dsan akhirnya menjadi Homo Sapien yang mempunyai akal budi.[3]
Nenek moyang manusia adalah Adam. Dalam Al-Quran sudah jelas bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah. Sedangkan Bani Adam melajutkan perkembangbiakannya dengan terjadinya proses biologis.
B.     Proses Perkembangan Manusia dalam Pandangan Islam
Tuhan menciptakan manusia dari ruh dan jasad. Proses penciptaannya pun rumit dan penuh misteri sebanding dengan jati dirinya yang unik, misteri dan tak terduga. Ruh dan jasad adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan keduanya merupakan satu kesatuan dan saling menyempurnakan dalam pembentukan yang namanya manusia.
Asal manusia dibagi menjadi dua yakni Adam sebagai nenek moyang manusia dan manusia pada umumnya sebagai keturunan Adam. Penyebutan asal usul penciptaan Adam beragam dalam Al-Quran. Al-Quran memakai terma tin, turab, shalshal,seperti fakhkhar, dan shalshal yang berasal dari hama’ masnun. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Kata Tin
Kata tin antara lain terdapat dalam Q.S Al-Mu’mimun (23):12; Al-Sajadah (32):7; Al-An’am(6):2; Al-A’raf (7):12; As-Shoffat (37):11; Al-Isra’ (17):61; Shad (38):71. Pada umumnya para mufassir kata tin dengan sari pati tanah lumpur atau tanah liat. Menurut ibnu Katsir, Ahmad Mustofa, Jamal dan Maghnujah bahwa kata tin menupakan bahan penciptaan Adam dari saripati tanah. Menurut Baharudin bahwa tin dalam QS.As-Sajadah (32):7 adalah tanah yakni atom zat air (hidrohenium) dan kata tin lazim pada Q.S As-Shaffat (37):11adalah zat besi (ferrum). [4]
2.       Kata Turab
Kata Turab terdapat dalam Q.S Al-Kahfi(18):37; Al-Hajj (22):5; Ali Imron(3):59; Ar-Rum(30):20; Fatir(35):11. Menurut Nazwar Syamsu bahwa semua ayat yang mengandung kata turab berarti saripati tanah. Muhammad Jawwad membagi asal usul manusia menjadi dua yakni langsung dari saripati tanah tanpa perantara dan yakni asal usul Adam dan tidak langsung dari tanah seperti menciptakan Bani Adam.[5] Maksudnya tidak langsung ini adalah manusia terbentuk dari nutfah (air mani), dan air mani itu terbentuk dari makanan-makanan yang di konsumsi manusia dan makanan-makanan tersebut berkaitan dengan air dan tanah.
3.      Shalshal seperti fakhkhar yang berasal dari hama’ masnun.
Kata shalshal terdapat dalam QS. Ar-rahman:14, Al-hijr: 26,28 dan 33. Menurut Fachrur Razy maksud dengan shalshal adalah tanah kering yang bersuara dan belum dimasak. Jika shalshal itu telah dimasak, jadilah ia tembikar (fakhkhar). Sebagai komponen penciptaan Adam.[6]
Proses perkembangan manusia di dalam rahim menurut QS. Al-Mu’minun:12-14, Al-Hajj:5, dan Al-Mu’min:67
1.      Benih (ovarium, female nucleus) yang berasal dari saripati tanah.
2.      Sperma (spermatozoon) yang berasal dari saripati tanah.
3.      Benih (ovum) dan spermatozoon dalam rahim.
4.      Segumpal darah (‘alaqoh).
5.      Segumpal daging (mudhghoh).
6.      Tulang belulang.
7.      Tulang belulang yang dibungkus daging, dan roh ditiupkan.
8.      Menjadi makhluk hidup.
9.      Menanti kelahiran.
10.  Saat kelahiran.
11.  Rahim kembali seperti semula.[7]
Di dalam Al-Quran dijelaskan secara sosiologis dan fisiologis tentang perkembangan manusia, antara lain:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(QS. Al-Baqarah:30)[8]
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa manusia diciptakan di muka bumi sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi dengan menjaga kelestarian alam sebagai karunia Allah dan saling menjaga antar saudara.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا أَتَاكُمْ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِ وَاِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-An’am: 165)[9]
Setiap manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia akan diuji Allah untuk meninggikan kedudukannya di dunia maupun di akhirat.
Secara rasional kita tidak dapat mengingkari bahwa manusia ini tidak dapat hidup dengan baik tanpa bermasyarakat. Aristoteles mengatakan, Zoon Politicon, dan di dalam hidup bermasyarakat ini tidak dapat ketenteraman dan kedamaian serta keadilan tanpa adanya pemimpin masyarakat yang taat pada Allah. [10]
C.    Manusia dan Fitrah Perkembangan
Manusia diciptakan Allah selain menjadi hamba-Nya, juga menjadi penguasa (khalifah) di bumi. Selaku menjadi hamba dan khalifah, manusia telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah (fisiologi) dan rohaniah (psikologi) yang dapat dikembangkan semaksimal mungkin, untuk melaksanakan tugas pokoknya di dunia. Kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan dijadikan alat (sarana) yang menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebt dapat dicapai.
Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik menurut kehendak pencipta-Nya. Karena mengingat Allah yang telah menggaris bawahkan, bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan dua arah, yaitu: kearah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan kearah perbuatan takwa (mentaati peraturan), seperti firman Allah dalam Surah AS Syams ayat 7-10 berikut ini:

وَنَفْسٍ وَ مَا سَوّهَا. فُأَ لْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَهَا. قَدْاَفْلَحَ مَنْ زَ كّهَا. وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسّهَا.
“Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikkan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang ang menyucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (AS Syams ayat 7-10)
Dengan demikian, manusia diberi kemungkinan untuk mendidik diri sendiri dan orang lain untuk menjadi sosok pribadi yang beruntung sesuai kehendak Allah melalui berbagai usaha. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan dirinya melalui upayanya sendiri. Ia tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali melalui usahanya.[11]
1.        Individualisasi dan Sosialisasi
Bilamana tujuan pendidikan islam itu diarahkan kepada pembentukan manusia seutuhnya, berarti proses kependidikan yang dikelola oleh para pendidik harus berjalan di atas pola dasar dari fitrah manusia yang telah dibentuk oleh Allah dalam setiap pribadi manusia itu. Salah satu aspek potensial dari fitrah manusia tersebut  adalah kemampuan berfikir manusia, dimana rasio dan kecerdasan menjadi pusat perkembangannya. Para pendidik muslim sejak dahulu menganggap bahwa kemampuan berfikir inilah yang menjadi pembada antara manusia dengan makhluk-makhluk yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan kemampuan dasar tersebut, Abul A’la Al-Maududi, menyatakan bahwa manusia telah dibentuk oleh Tuhan dalam dua suasana kegiatan yang berbeda . Pertama, ia berada di dalam suasana dimana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum Tuhannya. Kedua, manusia telah dianugerahi kemampuan akal dan kecerdasan. Dia dapat berfikir dan membuat pertimbanan dengan akalnya untuk memilih dan menolak serta menerima ataupun membuangnya. Dia telah diberi kemampuan bebas berkehendak dan dapat menetapkan arah perbuatannya sendiri.
Jadi, manusia disini tidak seperti makhluk lainnya, karena manusia telah diberi kebebasan oleh Tuhan untuk berfikir, berbuat, dan memilih. Namun, pada hakekatnya manusia dilahirkan sebagai seorang muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan tingkah lakunya cenderung berserah diri kepada Penciptanya. Tetapi dilain pihak,  manusia diberi kebebasan memilih dan berkehendak untuk menentuka apakah ia akan menjadi seorang muslim atau non muslim. Itu tergantung pada pengalaman dan lingkungan manusia tersebut.
Tuhan tidak sekaligus menjadikan manusia di bumi ini untuk beriman kepada-Nya, karena hal tersebut bukanlah proses manusiawi atau alami. Untuk menjadikan manusia mukmin harus melalui proses kependidikan yang berkeimanan dan islami, begitu pula untuk menjadi manusia non muslim (misalnya: Kristen dan Yahudi) juga melalui proses pengalaman kependidikan yang seirama dengan ideologinya.
Jadi, faktor ikhtiarlah yang mengandung nilai pedagogis yang menentukan kedudukan atau martabat kemanusiaanya selaku hamba Allah yang secara individual dan sosial senantiasa membina hubungan dengan Allah dan hubungan dengan masyarakatnya.[12]
2.        Pengembangan Kepribadian
Dengan melalui proses kependidikan yang terencana dengan baik, maka kepribadian manusia dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan yang diteapkan atau paling tidak dapat mendekati tujuan tersebut. Sifat-sifat unik yang menggejala pada seseorang yang memiliki kepribadian tertentu menggambarkan aspirasi dan arah tujuan hidup tertentu. Sehingga dalam pengamatan jangka panjang kita dapat melihat bahwa seseorang tersebut telah memiliki pandangan hidupnya (filsafat). Pandangan hidupnya ini berlangsung dalam perilakunya yang konsisten dalam berfikir, berbuat dan bersikap sepanjang waktu.
Dalam hubungannya dengan pendidikan islam, pengembangan kepribadian manusia merupakan perwujudan nilai-nilai dan norma-norma islami. Nilai dan norma islami yang harus diacu kedalam pribadi peserta didik dijabarkankedalam sistem kependidikan secara makro dan mikro. Secara makro, berarti nilai dan norma islami mendasari proses penetapan kebijaksanaan umum yang mengarah dan memberi ruang lingkup perencanaan program operasional kependidikan, baik secara instusional maupun secara psikologis. Sedangkan secara mikro, berarti pendidikan secara operasional sebagai proses yang melaksanakan program-program kependidikan yang bertujuan merealisasikan nilai-nilai dan norma-norma islami itu.
DR. Fadhil Al-Djamaly menggambarkan kepribadian muslim sebagai muslim yang berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tiap langkah hidupnya. Bagi Ibnu Sina, seorang filosof pendidikan islam ilmuyang dididikkan bukan hanya yang diajarkan pada pribadi peserta didik, tetapi merupakan esensi kepribadiannya. Pendidikan sebagai proses menginternalisasikan nilai-nilai dalam pribadi peserta didik yang bertumpu pada kemampuan atau kapasitas belajar dalam setiap pribadi peserta didik. Untuk proses internalisasi nilai tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau melalui pendidikan dari orang lain. Namun, kedua proses belajar tersebut pada hakikatnya selalu terjadi saling mempengaruhi, karena orang yang mengajar orang lain senantiasa memberikan stimulasi atau motivasi agar ia belajar sendiri yang didorong dari dalam diri seseorang tersebut.[13]
D.    Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
1.        Potensi yang Dimiliki manusia
Al Qur’an memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah kata al-insan dan al-basyar. Kata insan yang dibentuk jamaknya al-nas dari segi semantic (ilmu tentang akar kata), dapat dilhat dariasal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta ijin. Atas dasar kata tersebut mengandung kata petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kaitan penalarannya itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Selanjutnya kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa,menunjukkan adanya kaitan yang erat antara manusia dengan kesadaran dirinya.
Dengan demikian, penggunaan insan dan basyar dalam al Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Mannusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek budaya dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada aktifitas fisiknya.[14]
Ulama menyimpulkan bahwa manusia itu merupakan perpaduan antara unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan jiwa yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan. Dengan kata lain, bahwa manusia itu memiliki kelengkpan jasmani dan rohani, dan dengan kelengkapan jasmaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik. Serta dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dengan hubungan ini, pendidikan sangat memegang peranan yang sangat penting.
2.        Kedudukan manusia dan alam semesta
Kedudukan manusia di alam semesta ini di samping sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd, yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka untuk beribadah kepada Allah.
Dengan pandangan yang terpadu ini, maka sebagai seorang khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencermnkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah yang baik, manusia perlu diberikan pendidikan, penngajaran, pengalaman, keterampilan, teknolgi, dan sarana pendukun lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al Qur’an erat kaitannya ngan pendidikan. [15]
Alam kodrat ini bukannya memusihi manusia, ia sesekali tidak menghambat usaha insan untuk maju. Ia tidak kikir, muka bumi yang permai yang mendekati wujud manusia bukanlah tempat buangan seperti yang diungkapkan oleh setengah penulis cendekiawan.
Alam yang terbentang luas ini adalah teman yang setia bagi manusia. Ia boleh digunakan untuk maju. Untuk memberi pengkhidmatan dan memudahkan hidup insan dan keturunannya. Alam boleh menjadi sumber ilham dan tanda untuk menolong akal manusia berfikir mencari kebenaran.[16]
Amatlah besar keuntungan insan andainya ia mengerti bagaimana memanfaatkan hasil buminya. Bagaiman membelanjakan sumber kemewahan dengan bijak dan demi kepentingan manusia seluruhnya. Berbahagialah insan yang dalam kesibukan hidupnya senantiasa mengingat kebesaran dan karunia Allah kepadanya. Dengan keinsyafan itu ia tidak pula sampai berlebih-lebihan dan mubazir.


[1] Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga), hal. 2
[2] Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahan Jumunatul ‘Ali, (Bandung: CV Penerbit J-Art), hal. 332
[3] Syahid Mu’ammar Pulungan, manusia dalam Al-quran, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), hal. 33
[4] Maragustam S, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna, (Yogyakarta:   ,2010), hal. 59-60
[5] Ibid., hal.60
[6] Ibid.,hal. 68
[7] Syahid Mu’amma… hal.55
[8] Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahan Jumunatul ‘Ali, (Bandung: CV Penerbit J-Art), hal. 6
[9] Ibid., hal. 150
[10] Syahid Mu’ammar ____, hal.38
[11] Muzayyin Arifin, “Filsafat Pendiikan Islam”, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal. 141-142.
[12] Ibid, hal. 149
[13] Ibid, hal. 154-159.
[14] Abuddin Nata, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005)hlm. 81-87.
[15] Ibid, hlm. 93
 [16] Omar Mohammad, Al-Toumy Al-Syaibany, “Falsafah Pendidikan Islam”, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979), Hal.76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar